Nusantaratv.com - Kementerian Pertanian (Kementan) kembali mengungkap maraknya peredaran beras premium yang diduga telah dicampur dan dijual di pasaran tanpa memenuhi standar mutu dan kualitas.
Sebanyak 26 merek beras terindikasi melanggar ketentuan, dan Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Metro Jaya bersama Satgas Pangan Polri langsung melakukan inspeksi mendadak (sidak) ke Pasar Induk Cipinang, Jakarta Timur.
Sidak ini dilakukan sebagai tindak lanjut atas laporan beredarnya beras premium oplosan di masyarakat. Polisi pun telah menaikkan status kasus ini dari penyelidikan ke tahap penyidikan.
Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus/Kepala Satgas Pangan Polri Brigjen Pol Helfi Assegaf, menyebut ada lima merek beras premium yang terbukti tidak sesuai dengan mutu dan takaran yang ditetapkan.
Presiden Prabowo Subianto pun telah menginstruksikan Kapolri dan Jaksa Agung untuk menindak tegas pihak-pihak yang terlibat dalam praktik curang tersebut.
Diketahui, potensi kerugian negara akibat beredarnya beras oplosan ini bisa mencapai Rp100 triliun per tahun.
Apa yang sebenarnya terjadi di lapangan? Tim Abraham dari Nusantara TV menelusuri langsung ke Pasar Induk Cipinang, yang dikenal sebagai pusat distribusi beras nasional.
Di lokasi ini, terkena dampak praktik pencampuran beras dari 212 merek, yang berakibat pada mutu, takaran, hingga pelabelan sebagai "premium".
Salah satu pedagang beras Pasar Induk Cipinang, Nova, mengaku pencampuran beras dilakukan atas dasar permintaan konsumen.
"Beras asli dari Tarakan itu 50 kg, jarang ada pembeli yang mau beli sebanyak itu. Jadi bukan sengaja dicampur, tapi tergantung pesanan. Ada yang minta beras teksturnya sedang, nggak terlalu pulen. Kalau kita nggak sesuaikan, mereka nggak jadi beli, dagangan jadi sepi," ujar Nova saat berbincang dengan jurnalis Nusantara TV Abraham Silaban dalam program 'Abraham', Senin, 4 Agustus 2025.
Nova menambahkan bahwa pembeli biasanya hanya membeli beras dalam kemasan 10 kg atau 5 kg, bukan karungan besar. Oleh karena itu, dia dan pedagang lain melakukan repacking dan penyesuaian campuran untuk memenuhi permintaan.
"Misalnya beras pulen dicampur sedikit dengan beras dari Bandung supaya hasilnya sedang, karena permintaan konsumen memang begitu," lanjutnya.
Mengenai harga, Nova menyebut bahwa beras hasil campuran tidak dijual dengan harga mahal. Dia menegaskan, praktik pencampuran bukan dilakukan untuk merugikan konsumen, melainkan sekadar menyesuaikan selera dan permintaan pasar.
"Kami hanya menyesuaikan permintaan pembeli. Kalau mereka minta sedang tapi kita kasih yang pulen, mereka nggak mau. Kita bisa nggak ada penghasilan. Tapi tetap tergantung permintaan ya. Kami jual dengan cara yang baik," tegas Nova.
Namun, sejak adanya sidak dari pihak berwenang, para pedagang mengaku tak lagi berani melakukan pencampuran beras meski atas permintaan pembeli.
Pedagang beras lain, Haidir, juga membantah bahwa beras yang dijual di Pasar Induk Cipinang adalah oplosan.
"Sebaiknya ditanyakan dulu ke pihak Food Station. Karena ini bukan oplosan, tapi memang disesuaikan dengan kebutuhan konsumen. Misalnya, harga beras Rp14 ribu dicampur dengan yang Rp12 ribu supaya harga jual terjangkau," ungkap Haidir.
Haidir juga mengaku kini merasa khawatir pasca sidak yang dilakukan pemerintah. "Pedagang jadi takut, takut ditangkap. Padahal kita berdagang dengan cara yang benar. Omset juga menurun drastis. Harus ada aturan yang jelas," ujarnya.
Simak penelusuran lengkap Tim Abraham Nusantara TV mengenai polemik beras premium campuran yang kini ramai diperbincangkan dan berpotensi menimbulkan kerugian besar bagi negara dalam video di bawah ini.
Program Abraham tayang setiap Senin pukul 20.00 WIB di Nusantara TV.