Nusantaratv.com - Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan mengapresiasi kenaikan realisasi investasi hulu migas pada 2022 yang lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. SKK Migas (2023) melaporkan bahwa realisasi investasi sepanjang 2022 mencapai $12,3 miliar atau Rp182 T, naik 13 persen dibandingkan tahun 2021 yang mencapai $10,9 miliar. Namun demikian, realisasinya di tahun 2022 belum mencapai target yang ditetapkan sebesar $13,2 miliar. Ini tentu menjadi tantangan bagi pemangku kebijakan dan pelaku usaha migas agar terus meningkatkan skala produksinya mengingat kebutuhan migas yang semakin meninggi.
Menurut Menteri Koperasi dan UKM di era Presiden SBY ini, sumber energi migas masih menjadi tumpuan untuk menggerakkan roda perekonomian. Inisiatif untuk memacu energi baru dan terbarukan tentu harus terus didorong, sejalan dengan produksi energi fosil. Apalagi aktivitas masyarakat kembali normal, artinya kebutuhan migas juga akan semakin tinggi. Faktanya, realisasi produksi minyak pada 2022 hanya mencapai 612.300 bpod, lebih rendah ketimbang target sebesar 703.000 bpod, atau dibandingkan realisasi pada 2021 sebesar 660.300 bpod. Produksi gas juga sama, hanya sebesar 5.347 mmscfd dibandingkan target 5.800 mmscfd.
“Ini perlu diatensi khusus, bagaimana menyiapkan strategi yang tepat agar produksi migas semakin tinggi. Jika ini dibiarkan, defisit neraca perdagangan migas akan semakin besar. Faktanya, BPS mencatat sepanjang 2022, volume impor migas meningkat jadi 47,74 juta ton, naik 5,61 juta ton dibandingkan tahun 2021. Ini artinya, nilai impor melonjak 58,32 persen mencapai $40,42 miliar. Akibatnya di tahun 2022 ini, defisit neraca perdagangan migas sebesar $24,4 miliar, melonjak 83,69 persen dibandingkan $13,28 miliar pada 2021,” ujar Syarief.
Oleh karenanya, Politisi Senior Partai Demokrat ini meminta agar sektor migas ini mendapatkan prioritas dan insentif. Perkara migas bukan saja isu ekonomi dan energi, namun berkaitan dengan kedaulatan negara. Di tengah ketidakpastian global dan ancaman resesi yang masih membayangi dunia, sektor energi akan sangat menentukan keberlanjutan hidup sebuah negara. Kita juga seringkali mengalami kelangkaan dan harga migas yang tinggi langsung berdampak pada inflasi dan kenaikan harga bahan pokok. Jika tidak ada kemandirian energi, maka Indonesia hanya akan menjadi negara yang terdampak fluktuasi harga di tingkat global. Akhirnya keuangan negara tertekan, rakyat yang mesti menanggung resiko.
“Kita tentu sangat berharap pemangku kebijakan, terutama SKK Migas sebagai regulator di sektor hulu dan Pertamina sebagai pemain utama migas terus mencari strategi dan skema terbaik agar skala produksi terus meningkat. Namun lebih dari itu, persoalan ini harus mendapatkan dukungan penuh dari pemerintah, terutama peningkatan investasi dan operasional produksi migas. Kinerja produksi Pertamina yang melampaui target pada 2022 ini patut diapresiasi, namun tentu kita tidak boleh berpuas diri. Sepanjang kita tidak berdaulat dalam menentukan pasokan dan harga migas, selalu bergantung pada dinamika migas global, maka kita masih punya sederet pekerjaan rumah. Pada akhirnya, kemandirian energi adalah tujuan yang mesti diseriusi,” tutup Syarief.