Nusantaratv.com - Wakil Ketua MPR, Ahmad Basarah menyebut video viral rapat Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa dengan salah seorang pejabat TNI tentang rekrutmen calon prajurit TNI 2022, tengah ramai diperbincangkan publik.
Diketahui, dalam rapat tersebut Panglima TNI mengoreksi salah satu poin persyaratan dalam rekrutmen prajurit TNI yaitu larangan keturunan mantan anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) sebagai calon prajurit TNI.
Panglima TNI menegaskan bahwa hal tersebut tidak ada dalam ketentuan hukum TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 yang melarang keturunan PKI untuk memperoleh hak-hak kewarganegaraannya.
Ahmad Basarah mengatakan TAP XXV/MPRS/1966 adalah TAP Tentang Pembubaran PKI, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi PKI Dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Faham Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.
"Dalam TAP XXV/MPRS/1966 ini dimuat ketentuan pembubaran PKI termasuk semua bagian organisasinya dari tingkat pusat sampai ke daerah beserta semua organisasi yang seazas/berlindung/bernaung dibawahnya dan pernyataan sebagai organisasi terlarang diseluruh wilayah kekuasaan Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia," ujar Dosen Paska Sarjana Fakultas Hukum Universitas Jember itu.
Basarah menjelaskan bahwa dalam TAP MPRS ini dimuat pernyataan larangan setiap kegiatan di Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan faham atau ajaran Komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan faham atau ajaran tersebut.
"Kebijakan Panglima TNI menolak larangan anak keturunan anggota PKI sebagai calon prajurit TNI pada dasarnya selain karena tidak ada larangan Dalam TAP XXV/MPRS/1966, juga dalam perkembangannya telah ada Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 Tentang Peninjauan Terhadap Materi Dan Status Hukum TAP MPRS dan MPR Tahun 1960 - 2000," papar Basarah yang juga Ketua Dewan Kehormatan GMFKPPI.
"Dalam Pasal 2 TAP I/MPR/2003 ini dinyatakan TAP XXV/MPRS/1966 dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan yaitu diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia," tegasnya.
"Dan keberadaan Pasal 2 TAP I/MPR/2003 ini masih berlaku hingga saat ini sebagaimana dinyatakan Pasal 7 ayat (1) dan Penjelasannya di UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan," ujar Wakil Ketua Lembaga Kajian Dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (Lakpesdam) PBNU itu.
"Selain TAP XXV/MPRS/1966 dan TAP I/MPR/2003 tersebut, juga terdapat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 011-017/PUU-I/2003 tanggal 24 Februari 2004 yang bersifat final dan mengikat yang juga menyatakan setiap pelarangan yang mempunyai kaitan langsung dengan hak dan kebebasan warga negara harus didasarkan atas putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Selain itu dalam putusan tersebut juga dinyatakan suatu tanggungjawab pidana hanya dapat dimintakan pertanggungjawabannya kepada pelaku (dader) atau yang turut serta (mededader) atau yang membantu (medeplichtige), maka adalah suatu tindakan yang bertentangan dengan hukum, rasa keadilan, kepastian hukum, serta prinsip-prinsip negara hukum apabila tanggungjawab tersebut dibebankan kepada seseorang yang tidak terlibat secara langsung," terang Doktor Hukum Tata Negara Universitas Diponegoro itu.
"Berdasarkan fakta-fakta hukum tersebut dan untuk menjunjung tinggi prinsip supremasi hukum, maka seharusnya pernyataan Panglima TNI yang menolak diskriminasi latar belakang keluarga calon prajurit TNI tersebut harus dipandang sebagai suatu kewajiban Jenderal Andika selaku orang nomor satu di instansi TNI. Sebagai Panglima TNI, tentu saja ia sangat menyadari jika TNI tidak berpedoman pada hukum akan menimbulkan kekacauan kehidupan bernegara kita," tutup pria Anggota Komisi Pendidikan DPR itu.