Nusantaratv.com - Ketua MPR RI sekaligus Wakil Ketua Umum Partai Golkar Bambang Soesatyo menilai saat ini bangsa Indonesia sedang menuju proses transisi dan regenerasi kepemimpinan nasional. Tokoh-tokoh politik nasional senior, akan lebih banyak berperan di belakang layar, sementara generasi penerusnya akan semakin mendapat kepercayaan untuk menentukan kebijakan. Satu hal yang perlu diingat, siapapun yang akan melanjutkan estafet kepemimpinan nasional, baik di level pusat hingga daerah, akan dihadapkan pada berbagai tantangan yang cukup berat.
Prospek pertumbuhan ekonomi Indonesia memang cukup menjanjikan. Tercermin dari pertumbuhan ekonomi triwulan II tahun 2022 yang mencapai 5,44 persen (year on year). Pertumbuhan ekonomi pada kuartal III tahun 2022 pun diproyeksikan positif dan diperkirakan mencapai 5,8 persen. Bahkan IMF menyebut Indonesia menjadi titik terang di tengah kondisi memburuknya perekonomian global. Namun pandangan IMF tidak menafikkan fakta bahwa ancaman resesi global masih nyata. Terlebih masih berlangsungnya konflik Rusia-Ukraina yang berdampak pada krisis energi, krisis pangan, terguncangnya pasar saham global, dan perlambatan pertumbuhan ekonomi global.
"IMF dan Bank Dunia memprediksikan perekonomian 66 negara akan mengalami kebangkrutan. Diperkirakan dalam 4-6 bulan ke depan, sepertiga negara di dunia akan mengalami tekanan ekonomi. Utamanya dalam bentuk beban utang yang tinggi, ditambah lemahnya fundamental makro ekonomi, serta adanya isu stabilitas politik. Di satu sisi kita harus tetap optimis menatap prospek ekonomi nasional, namun disisi lain tetap menerapkan kewaspadaan tinggi. Karena sekuat apapun pondasi perekonomian nasional, tidak mungkin terlepas dari pengaruh kondisi ekonomi dan geo-politik global," ujar Bamsoet dalam Seminar Kepemimpinan Nasional dan Demokrasi Indonesia, diselenggarakan Forum Mahasiswa Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (IPB), secara virtual dari Jakarta, Jumat (28/10/22).
Turut hadir antara lain, Ketua Umum Forum Mahasiswa Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Mangaraja H. Harahap, dan Sekretaris Umum Forum Mahasiswa Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Nadia Nur Soraya.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III DPR RI bidang Hukum, HAM, dan Keamanan ini menjelaskan, terdapat korelasi yang sangat erat antara kepemimpinan nasional dengan demokrasi. Karena kualitas kepemimpinan nasional akan menentukan derajat implementasi demokrasi. Begitupun sebaliknya, kinerja dan implementasi demokrasi akan sangat menentukan kualitas kepemimpinan nasional yang dihasilkan.
Secara nasional, Badan Pusat Statistik (BPS) menilai indeks demokrasi didasarkan pada tiga aspek, yaitu kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga demokrasi. Menurut data BPS, indeks demokrasi Indonesia selama kurun waktu antara tahun 2009 hingga 2020 telah mengalami penurunan 4 kali pada periode tahun 2010, tahun 2012, tahun 2015, dan tahun 2016. Sedangkan indeks demokrasi pada tahun 2020 berada di angka 74,92 atau meningkat dari tahun 2019 sebesar 72,39.
"The Economist Intelligence Unit, suatu divisi penelitian dari Economist Group yang berbasis di Inggris, mengukur kualitas implementasi demokrasi dari lima instrumen yaitu proses Pemilu dan pluralisme, fungsi pemerintah, partisipasi politik, budaya politik dan kebebasan sipil. Laporan The Economist Intelligence Unit menempatkan indeks demokrasi Indonesia pada tahun 2021 di urutan ke 52 dari 167 negara, dengan nilai 6,71 pada skala 0 sampai 10," jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum SOKSI dan Kepala Badan Hubungan Penegakan Hukum, Pertahanan dan Keamanan KADIN Indonesia ini menerangkan, bangsa Indonesia patut berbangga bahwa capaian indeks demokrasi pada tahun 2021 lebih baik dibandingkan capaian tahun 2020 (indeks demokrasi Indonesia berada di peringkat 64 dunia dengan nilai indeks sebesar 6,30 yang merupakan skor terendah sejak tahun 2006). Di sisi lain, peningkatan indeks tersebut masih belum mampu mengeluarkan posisi kita dari kategori demokrasi tidak sempurna, atau demokrasi 'cacat' (flawed democracy).
"The Economist Intelligence Unit mendefinisikan 'demokrasi cacat' dengan karakteristik dimana demokrasi prosedural seperti Pemilu dilaksanakan secara adil dan bebas, kebebasan sipil dasar dihormati, tetapi masih memiliki persoalan. Misalnya terkait kebebasan media, pembangunan budaya politik, tingkat partisipasi politik, atau fungsi pemerintahan," terang Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Pemuda Pancasila dan Wakil Ketua Umum FKPPI FKPPI ini menambahkan, harus diakui bahwa implementasi nilai-nilai demokrasi Pancasila di Indonesia masih berproses, dan masih dalam taraf pengembangan dan penguatan. Terpenting yang harus dijaga bersama adalah jangan sampai implementasi demokrasi menghadirkan 'residu' dan 'sisi gelap'. Misalnya demokrasi dimanifestasikan dalam bentuk operasi kuasa absolut mayoritas terhadap minoritas, atau demokrasi prosedural mengabaikan demokrasi substansial. Implementasi demokrasi meniscayakan sinergi dan sekaligus keseimbangan, antara demokrasi dalam praktik dengan demokrasi dalam kualitas implementasinya.
"Berdemokrasi adalah sebuah proses yang dinamis, dan akan selalu ada ruang dan peluang untuk memperbaikinya. Bahkan di negara yang konon disebut sebagai kampiun demokrasi seperti Amerika Serikat juga mengalami stagnasi, bahkan penurunan indeks demokrasi secara berkelanjutan. Meskipun pada periode 2006 hingga 2015 Amerika Serikat dikategorikan dalam klaster negara dengan 'demokrasi penuh', namun nilai indeks demokrasinya cenderung stagnan atau menurun. Bahkan sejak tahun 2016, Amerika Serikat mengalami penurunan klaster sebagai negara dengan 'demokrasi cacat' dengan skor 7,98, dan terus mengalami stagnasi atau penurunan hingga tahun 2021 dengan skor 7,85," pungkas Bamsoet.