Putusan Penundaan Pemilu, Wakil Ketua MPR: Ini Bentuk Pengingkaran dan Pelanggaran Konstitusi

Nusantaratv.com - 07 Maret 2023

Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan/Dok MPR
Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan/Dok MPR

Penulis: Ramses Manurung

Nusantaratv.com - Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan menilai Putusan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) atas gugatan Partai Prima dengan nomor register 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst adalah bentuk nyata dari kekeliruan berpikir dan pengingkaran terhadap amanat konstitusi. Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 tegas-tegas menyatakan pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Rumusan norma ini telah jelas mengatur bahwa pelaksanaan Pemilu dilakukan secara periodik setiap lima tahun. Artinya, jika Pemilu dilaksanakan pada 2019, maka Pemilu berikutnya wajib diselenggarakan pada tahun 2024. Maka Putusan PN Jakpus yang memerintahkan penundaan tahapan pemilu, yang berujung pada pelaksanaan Pemilu pada 2025 adalah bentuk pelanggaran konstitusional yang nyata.

"Putusan PN Jakpus yang berakibat pada pelaksanaan Pemilu di tahun 2025 ini sungguh sangatlah aneh dan patut dipertanyakan. Ada apa tiba-tiba Pengadilan Negeri memutuskan perkara kepemiluan, yang dalam hal ini sengketa proses merupakan kompetensi Bawaslu dan PTUN, atau sengketa hasil yang menjadi ranah Mahkamah Konstitusi, kok Pengadilan Negeri yang ambil alih? Ini belum pernah terjadi, sehingga sangatlah wajar Putusan PN Jakpus ini amatlah mengejutkan. Jika persoalannya pada kapasitas berpikir, maka sudah seharusnya Komisi Yudisial memeriksa Majelis Hakim yang memutuskan ini. Jangan sampai rakyat berpikir Putusan ini sudah direncanakan dan disengaja," ujar Politisi Senior Partai Demokrat ini.

Menurut Syarief, Sengketa kepemiluan bukanlah yurisdiksi Pengadilan Negeri, atau bisa dikatakan Hakim88 PN Jakpus telah melampaui kewenangannya (ultra vires) sehingga harusnya perkara ini sedari awal dinyatakan tidak dapat diterima. Dengan Putusan PN Jakpus ini seakan membuka 2 kemungkinan kotak pandora. Apakah sudah sedemikian parahnya politisisasi hukum, sampai-sampai lembaga yudisial digunakan untuk menjustifikasi kepentingan politik tertentu. Atau bisa juga ini karena kurangnya pemahaman dan kompetensi hakim dalam membuat putusan. Jika ini soalannya, pendidikan hukum bagi para hakim tentu menjadi pertanyaan lainnya. Semoga saja ini karena hakim PN Jakpus keburu sembrono dan tidak cermat membuat putusan.

"Ingatlah putusan ini membawa implikasi yang sangat serius terhadap kehidupan ketatanegaraan dan kenegaraan secara luas. 2024 kita akan menyongsong suksesi kepemimpinan di semua tingkatan: pusat dan daerah, eksekutif dan legislatif. Putusan PN Jakpus ini hanya akan menyisakan dinamika kontraproduktif dalam perjalanan bangsa. Kita semua akan disesaki ketidakpastian, bagaimana wajah demokrasi dan hukum di republik ini? Meskipun Putusan PN Jakpus ini masih dapat dilakukan upaya hukum, namun terlalu banyak energi bangsa yang akan dihabiskan. Ini jelas bukan perkara sepele dan remeh temeh. Ini adalah kecelakaan hukum yang sangat memilukan. Kewibawaan hukum dipertaruhkan dan akan sangat mungkin dikangkangi oleh kepentingan tertentu," ujar Menteri Koperasi dan UKM di era Presiden SBY ini.

Oleh karenanya, saya mendesak Komisi Yudisial untuk memeriksa Majelis Hakim yang menangani perkara ini. Kita juga berharap Pengadilan Tinggi mengatensi betul perkara ini, jangan sampai ketidakcakapan atau (kesengajaan?) merusak wibawa hukum. Ingatlah, rakyat tidak akan diam saja melihat penyimpangan, apalagi jika konstitusi telah diingkari. Segala bentuk kesalahan harus diluruskan atau jika itu adalah kesewenang-wenangan maka harus dilawan. 

"Rakyat menolak Putusan PN Jakpus yang berimplikasi pada penundaan pemilu di tahun 2025. Mahkamah Agung, dalam hal ini Pengadilan Tinggi DKI Jakarta harus betul-betul bijak dan tegas untuk membatalkan Putusan PN Jakpus ini. Jangan bermain-main atau mempermainkan demokrasi dan konstitusi," tutup Syarief.

 

0

(['model' => $post])

x|close