Nusantaratv.com - Di tengah berbagai perubahan di tingkat global penting dilakukan sejumlah penguatan pelaksanaan demokrasi dalam kehidupan bernegara, sesuai yang diamanatkan konstitusi.
"Polemik tentang perubahan sistem Pemilu harus segera dijawab dengan argumentasi yang mampu mendorong pelaksanaan demokrasi di tanah air menjadi lebih baik dan sesuai dengan amanah konstitusi," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat dalam sambutan tertulis pada diskusi daring bertema Perubahan Sistem Pemilu dan Dampaknya Bagi Demokrasi Indonesia, yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (22/2).
Diskusi yang dimoderatori Luthfi Assyaukanie, Ph.D (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu, menghadirkan Philips J. Vermonte, Ph.D (Dekan Fisip Universitas Islam Internasional Indonesia), Feri Amsari, S.H., M.H., LL.M. (Direktur Pusat Studi Konstitusi, Fakultas Hukum Universitas Andalas) dan Almas Ghaliya Putri Sjafrina (Koordinator Divisi Pelayanan Publik dan Reformasi Birokrasi Indonesian Corruption Watch /ICW) sebagai narasumber.
Selain itu, hadir pula Dr. Atang Irawan, S.H., M.Hum (Pakar Hukum Tata Negara) sebagai penanggap. Menurut Lestari, demokrasi merupakan sistem yang diharapkan mampu mengawal kehidupan bernegara dalam menyikapi perubahan pascapandemi dan bayang-bayang resesi global.
Lestari yang akrab disapa Rerie itu menyayangkan saat ini Indonesia berhadapan dengan polemik perubahan sistem Pemilu, di saat tahapan Pemilu sudah berlangsung.
Pemohon perubahan sistem Pemilu di Mahkamah Konstitusi saat ini, tambah dia, mengajukan sistem Pemilu proporsional tertutup sebagai pengganti sistem Pemilu yang berlaku.
Menurut Rerie yang juga anggota DPR RI dari Dapil II Jawa Tengah itu, sistem proporsional tertutup membatasi hak rakyat untuk memilih langsung wakilnya di parlemen.
Oleh karena itu, tambah Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, sistem Pemilu proporsional terbuka yang berlaku saat ini dinilai yang seharusnya dipertahankan.
Rerie mendorong agar diskusi ini mengedepankan upaya penguatan pelaksanaan demokrasi dalam praktik bernegara di tanah air.
Direktur Pusat Studi Konstitusi, Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari berpendapat perdebatan tentang perubahan sistem Pemilu harus segera diakhiri.
Feri berharap, Mahkamah Konstitusi dapat menyikapi permohonan sejumlah kalangan untuk mengubah sistem Pemilu itu dengan bijaksana.
Menurut Feri, pengajuan perubahan sistem Pemilu di saat jadwal tahapan Pemilu sudah berjalan merupakan langkah yang aneh.
Apalagi, tegas Feri, pada Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 menyebutkan kedaulatan ada di tangan rakyat. Pasal ini, tambahnya, menegaskan bahwa yang berhak menentukan siapa yang duduk di parlemen mewakili rakyat, ya rakyat itu sendiri.
Sehingga, proses Pemilu itu tidak lagi diwakilkan kepada ketua partai politik.
Berdasarkan amanah konstitusi itu, menurut Feri, sistem Pemilu yang tepat adalah proporsional terbuka.
Sementara itu, jelasnya, dari sisi momentum pengajuan perubahan sistem Pemilu di saat tahapan Pemilu sudah berjalan, akan memicu ketidakpastian hukum.
Terkait indikasi adanya politik uang pada pelaksanaan Pemilu dengan sistem proporsional terbuka, menurut Feri, hal itu merupakan kesimpulan yang sumir. Dalam pelaksanaan sistem Pemilu apa pun, tambah dia, berpotensi terjadi kecurangan dalam bentuk politik uang.
Dekan Fisip Universitas Islam Internasional Indonesia, Philips J. Vermonte berpendapat, dalam perspektif jangka panjang perubahan sistem Pemilu itu sah-sah saja.
Dia menilai akan merepotkan bila aturan main diubah ketika tahapan-tahapan Pemilu sudah berjalan.
Menurut Philip, dalam upaya mengubah sistem Pemilu harus disepakati dulu tujuan perubahan sistem tersebut.
Dia mengungkapkan setidaknya ada dua pertimbangan yang bisa mendasari perubahan sistem Pemilu, yaitu sistem yang baru akan meningkatkan representasi warga atau governance.
Menurut Philip, tulang punggung demokrasi perwakilan adalah partai politik sehingga perlu diupayakan agar partai politik bisa menjadi lembaga yang lebih demokratis.
Terkait proses perubahan sistem Pemilu yang sedang berlangsung di Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini, Philip menyarankan bila terjadi kesepakatan perubahan sistem Pemilu harus dikunci dengan ketentuan bahwa keputusan itu berlaku untuk Pemilu berikutnya.
Koordinator Divisi Pelayanan Publik dan Reformasi Birokrasi ICW, Almas Ghaliya Putri Sjafrina mempertanyakan, apakah usulan perubahan sistem Pemilu dari sistem proporsional terbuka menjadi tertutup mampu menjawab persoalan yang dihadapi saat ini.
Menurut Almas, sistem Pemilu proposional terbuka atau tertutup sama-sama rentan terhadap politik uang.
Dia juga menilai sistem Pemilu proporsional tertutup berpotensi menjauhkan rakyat dari wakilnya dan kesempatan mengevaluasi wakilnya di parlemen.
Padahal, menurut Almas, pada kondisi saat ini partai politik harus didorong agar tidak absen dalam penuntasan berbagai persoalan masyarakat.
Almas berpendapat, hadirnya Pemilu berbiaya tinggi tidak cukup dicegah dengan mengubah sistem Pemilu semata. Pembenahan partai politik dari sisi komitmen penguatan demokrasi dan pendidikan politik masyarakat, tambahnya, juga penting direalisasikan.
Pakar Hukum Tata Negara, Atang Irawan berpendapat Pemilu dengan sistem proporsional terbuka lebih dekat dengan amanah konstitusi.
Atang menilai secara konstitusional akan sulit bila Mahkamah Konstitusi mengambil keputusan untuk menyepakati sistem Pemilu proporsional tertutup dalam proses judicial review yang sedang berlangsung saat ini.
Apalagi, tegasnya, pada keputusan sebelumnya MK telah sepakat dengan sistem Pemilu proporsional terbuka karena dinilai sesuai dengan amanah konstitusi.
Atang berpendapat tidak ada relevansinya antara dugaan maraknya politik uang dengan penerapan sistem Pemilu proporsional terbuka. Dia menduga belum tereksposnya praktik politik uang di masa lalu, karena ketika itu belum ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Atang malah menduga, dorongan mengubah sistem Pemilu bagian dari upaya sejumlah pihak yang menginginkan penundaan pelaksanaan Pemilu.
Jurnalis senior Abdul Kohar berpendapat di tengah berlangsungnya tahapan Pemilu, setiap anak bangsa harus dipenuhi dengan pikiran-pikiran strategis untuk mewujudkan kehidupan bernegara yang lebih demokratis.
Catatan Indeks Demokrasi Indonesia pada 2022, ungkap Kohar, cenderung stagnan pada angka 6,7. Demokrasi Indonesia saat ini, menurut dia, masih dikategorikan sebagai demokrasi yang cacat.
Menurut Kohar, kondisi tersebut akan bertambah parah bila kelak akan diterapkan sistem Pemilu yang berpotensi menghalangi hak-hak masyarakat.
Apalagi, tambah dia, di negara Dunia Ketiga pada umumnya di masa transisi demokrasi tidak berjalan dengan baik yang disebabkan adanya kepentingan kekuasaan lama untuk kembali mengonsolidasikan diri.