Nusantaratv.com - Dorongan pemenuhan hak perempuan di lingkar HIV harus dilakukan bersama lintas komunitas, pemangku kebijakan dan masyarakat agar mampu mewujudkan kebijakan yang melindungi dan melayani setiap warga negara.
"Kita harus mampu menyuarakan bersama apa yang menjadi hak kita, melalui saluran-saluran yang tersedia, sehingga apa yang kita suarakan dapat diimplementasikan dalam kebijakan," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat pada Simposium Puan Lingkar HIV yang bertema "Reclaiming Women's Right and Access to Health, Protect from Gender Based Violence", yang digelar Ikatan Perempuan Positif Indonesia (IPPI) di Jakarta, Kamis (8/6/2023).
Pada kesempatan itu, Lestari mengapresiasi upaya IPPI menggelar simposium yang membahas berbagai masalah yang dihadapi perempuan di lingkar HIV (antara lain remaja perempuan, perempuan pekerja seks, perempuan pengguna napza, transpuan serta perempuan dengan HIV) di Tanah Air.
Dalam simposium itu antara lain terungkap bahwa upaya penanganan HIV/AIDS di tanah air tidak berdasarkan data yang rinci hingga tingkat interseksionalitas, tidak adanya data terpilah, program terbatas pada kampanye dan tidak ada elaborasi program pencegahan HIV/AIDS berbasis komunitas.
Akibatnya, upaya tersebut malah menimbulkan masalah lain dalam bentuk melemahnya pemenuhan hak kesehatan dan meningkatnya kekerasan berbasis gender.
Menurut Rerie sapaan akrab Lestari, indikasi akan terus bertambahnya secara eksponensial manusia yang terpapar HIV sudah diungkap pada 20 tahun lalu, pada sebuah konferensi para pemilik Media di dunia pada 2003 di New York, Amerika Serikat.
Berdasarkan temuan itu, ujar Rerie yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, sejumlah kebijakan untuk mengantisipasi dampak dan melindungi masyarakat dari paparan HIV dan sejumlah eksesnya, seharusnya dihadirkan untuk melindungi setiap warga negara.
Apalagi, tegas Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, Pasal 28 ayat (4) UUD 1945 berbunyi, "Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah."
Namun, ujar Rerie, yang terjadi saat ini permasalahan yang dihadapi perempuan di lingkar HIV belum mampu diatasi dengan baik. Bahkan, upaya perlindungan para penyandang HIV dari stigma negatif yang berkembang di masyarakat, juga belum sepenuhnya didapatkan.
Rerie menyarankan agar sejumlah isu terkait penanganan dan perlindungan perempuan di lingkar HIV harus terus disuarakan melalui media agar terjadi proses sosialisasi yang mampu mengedukasi masyarakat dan para pemangku kepentingan terkait HIV/AIDS.
Selain itu, tegas Rerie, upaya untuk menyalurkan berbagai aspirasi terkait HIV/AIDS juga harus diarahkan pada saluran-saluran politik yang tersedia, agar berbagai permasalahan yang dihadapi para perempuan di lingkar HIV dapat segera diakomodasi melalui sejumlah kebijakan dari negara.