Ketua DPR RI ke-20 ini menjelaskan, desakan revisi UU ITE juga terekam dalam survei litbang Kompas pada Februari 2021. Dari 1.007 responden berusia minimal 17 tahun yang tersebar di 34 Provinsi, menyatakan UU ITE perlu revisi sebagian (47,4 persen), perlu revisi menyeluruh (28,4 persen), tidak perlu revisi, tetap seperti itu saja (10,3 persen) dan tidak tahu (13,9 persen).
"Revisi UU ITE dilakukan untuk menjamin kebebasan berpendapat di ruang digital dengan tetap menjaga hak dan kewajiban sesama warga di mata hukum. Sehingga mewujudkan keadaban publik melalui keadaban daring (online civility), menangkal penyebaran berita bohong, konten pornografi, serta meredam masifnya ujaran kebencian melalui media sosial. Sehingga semakin menguatkan demokrasi Pancasila di Indonesia," jelas Bamsoet.
Sementara itu, Direktur Tindak Pidana Siber Polri Brigjen Pol. Slamet Uliandi menerangkan, agar UU ITE tidak disalahgunakan, pada 19 Februari 2021 Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo telah menerbitkan Surat Edaran (SE) No.2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat dan Produktif. Polri juga membentuk virtual police, dengan tujuan menciptakan media sosial yang bersih, sehat, dan produktif, terbebas dari hoax dan hate speech.
"Jika ditemukan komunikasi/konten yang berpotensi melanggar UU ITE di ruang publik, penegakan hukum dilakukan dalam bentuk preventif, preemtif, dan kuratif. Virtual police akan memberikan edukasi secara privat melalui direct message disertai kajian mendalam bersama para ahli. Jika pelaku mengikuti arahan virtual police, maka masalah selesai. Jika tidak, korban yang merasa dirugikan bisa membuat laporan ke Polri, tidak boleh diwakilkan karena termasuk delik aduan," pungkas Slamet. (*)