Oleh: Dr. H. Jazilul Fawaid, S.Q., M.A., Wakil Ketua MPR RI Periode 2019-2024
Nusantaratv.com - Kelebihan kapasitas pada rutan dan lapas (overcrowding) telah menjadi persoalan klasik dan belum kunjung diselesaikan secara komprehensif hingga saat ini. Yang lebih memprihatinkan adalah persoalan kelebihan kapasitas ini seringkali menimbulkan efek turunan, seperti pembengkakan anggaran negara untuk memenuhi kebutuhan tahanan, program pembinaan yang tidak berjalan dengan optimal, hingga kerusuhan yang berbuntut pembakaran lapas seperti yang terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Keadilan restoratif menjadi alternatif solusi yang digaungkan oleh banyak pihak untuk mengurai persoalan kepadatan rutan dan lapas ini.
Persoalan nasional dan global
Merujuk pada data dashboard dalam Sistem Database Pemasyarakatan (SDP) Ditjen Pemasyarakatan Kemenkumham RI, per 28 Mei 2022, berdasarkan data rekap nasional, terdapat kelebihan kapasitas sebesar 107 persen di rutan dan lapas di Indonesia. Rinciannya adalah kapasitas rutan dan lapas untuk 132.107 orang, sedangkan secara faktual total penghuni sebanyak 274.051 orang. Kondisi ini diproyeksikan akan naik sebesar 136 persen pada 2025 apabila tidak diambil langkah-langkah penanganan yang memadai. Sebagai konsekuensinya, akan terjadi pembengkakan anggaran negara untuk biaya pembangunan rutan dan lapas yang baru, termasuk biaya makan dan minum para tahanan.
Persoalan kelebihan kapasitas rutan dan lapas ini tidak hanya terjadi di Indonesia, tapi juga lazim dihadapi oleh negara-negara lainnya. Amerika Serikat merupakan negara dengan tingkat pemidanaan tertinggi di dunia dan menyumbang hampir seperempat populasi jumlah tahanan di dunia. Diperkirakan jumlah tahanan di Amerika Serikat sebanyak 2,2 juta orang atau meningkat 500 persen sejak 1975. Di Eropa, berdasarkan occupancy rate 48 negara di Eropa sejak 2014-2017, tercatat sebanyak 11 negara mengalami kelebihan kapasitas tahanan, yakni Albania, Armenia, Belgia, Ceko, Finlandia, Prancis, Yunani, Italia, Portugal, Serbia, dan Turki. Di kawasan Amerika Selatan, berdasarkan occupancy rate 2014-2017, 10 dari 11 negara mengalami overcrowding, setengahnya bahkan mengalami extreme overcrowding (sama seperti Indonesia). Merujuk pada data-data tersebut, persoalan kelebihan kapasitas tahanan di rutan dan lapas, bisa dikatakan telah menjadi persoalan global yang bersifat kritikal
Salah satu faktor utama yang mendorong terjadinya kelebihan kapasitas pada rutan dan lapas adalah mindset penegakan hukum di Indonesia yang masih bersifat retributif atau pembalasan dengan pemidanaan. Dalam bahasa sederhananya, setiap tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang akan diganjar dengan hukuman penjara. Situasi seperti ini tidak akan menjadi sebuah persoalan serius apabila diikuti dengan penguatan kapasitas finansial dan kelembagaan hukum nasional dalam pembangunan fisik rutan dan lapas tersebut. Atau dalam konteks mitigatif jangka panjang, situasi seperti ini tidak akan menjadi persoalan kritikal apabila diikuti dengan kapasitas pemerintah dalam menguatkan kesadaran hukum masyarakat untuk tidak melanggar hukum, apalagi melakukan tindak pidana.
Strategi nasional
Salah satu opsi yang digagas untuk mengurai sengkarut persoalan kelebihan kapasitas rutan dan lapas ini adalah dengan menerapkan keadilan restoratif. Pemerintah di era Presiden Joko Widodo cukup serius untuk menerapkannya. Hal ini dapat dilihat pada RPJMN 2020-2024, yakni dalam Prioritas Nasional ke-7 (memperkuat stabilitas politik, hukum, pertahanan, dan keamanan, serta transformasi pelayanan publik) pada bidang Program Pembangunan ke-3 (penegakan hukum nasional), salah satunya adalah perbaikan sistem hukum pidana dan perdata, di antaranya adalah penerapan keadilan restoratif. Adapun secara garis besar, strategi yang tertuang dalam RPJMN 2020-2024 tersebut adalah optimalisasi penggunaan regulasi yang tersedia dalam peraturan perundang-undangan, optimalisasi peran lembaga adat dan lembaga alternatif penyelesaian sengketa, serta mengedepankan upaya pemberian rehabilitasi, kompensasi, dan restitusi bagi korban, termasuk korban pelanggaran hak asasi manusia.
Sebagai tindak lanjut dari RPJMN 2020-2024 tersebut, pemerintah telah mendorong optimalisasi penerapan keadilan restoratif melalui penetapan Peta Jalan dan Arah Kebijakan Keadilan Restoratif yang mencakupi 7 aspek, yakni penguatan definisi, ruang lingkup, dan mekanisme pelaksanaan keadilan restoratif, penerapan keadilan restoratif dalam KUHP dan KUHAP, alternatif pemidanaan non-pemenjaraan dan pemenuhan hak bagi penyalahguna narkotika, mekanisme diversi pada tindak pidana yang melibatkan anak (UU SPPA), penguatan substansi dan kesiapan penerapan ketentuan RKUHP dan RKUHAP yang mendukung keadilan restoratif, pemulihan korban berdasarkan UU Perlindungan Saksi dan Korban pada TPPO tertentu, serta keterlibatan penelitian kemasyarakatan.
Harapan
Fenomena kelebihan kapasitas tahanan di rutan dan lapas menjadi persoalan serius yang selalu diatensi oleh pemerintah. Kelebihan kapasitas ini membawa konsekuensi yang tidak ringan, seperti terhambatnya program pembinaan yang dijalankan oleh pemerintah di lapas dan rutan, tidak terpenuhinya objektif penahanan, yakni pembinaan dan pemberdayaan tahanan, terjadinya kekerasan dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap tahanan di dalam lapas dan rutan, bahkan juga menjadi penyebab terjadinya kebakaran lapas dan rutan seperti yang terjadi di Tangerang, Medan, dan Bengkulu dalam kurun satu dekade terakhir. Menyikapi kondisi ini, sudah saatnya pemerintah melakukan penguatan penerapan mekanisme keadilan restoratif yang lebih menekankan pada keadilan korektif, rehabilitatif, serta restoratif. Mekanisme keadilan retributif yang lebih menekankan pidana penjara terhadap para pelaku dipandang tidak terlalu efektif, menyebabkan tidak optimalnya pemulihan hak dan kerugian korban, serta menjadi penyebab terjadinya kelebihan kapasitas di rutan dan lapas. Dalam konteks jangka panjang, pembangunan kesadaran hukum masyarakat agar tidak melakukan pelanggaran hukum dan tindak pidana mutlak dilakukan.