Nusantaratv.com - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mengkritik juru bicara salah satu pasangan capres-cawapres, yakni Tim Kampanye Nasional (TKN) ) Prabowo-Gibran, yang dipahami sebagai akan melindungi dan mengakui kaum non-biner (atau kelompok yang tidak mau diidentifikasi sesuai gendernya) dengan dalih kesesuaian dengan konstitusi, karena hal tersebut justru tidak sesuai dengan Konstitusi yang berlaku di Indonesia, yaitu UUD NRI 1945.
“Gagasan untuk menarik pemilih memang perlu disampaikan oleh masing-masing tim kampanye pasangan capres-cawapres, namun gagasan tersebut mestinya yang sejalan dengan aturan yang berlaku di Indonesia, tidak boleh bertentangan Konstitusi yang berlaku di Indonesia yaitu UUD NRI 1945. Gagasan yang ingin melindungi dan mengakui non-biner tersebut tidak sesuai dengan UUD NRI 1945, juga sila pertama dari Pancasila,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Selasa (5/12).
Sebagai informasi, gagasan yang akan melindungi kaum non-biner tersebut disampaikan oleh salah satu Jubir TKN Prabowo-Gibran, Munafrizal Manan, dalam sebuah diskusi beberapa waktu lalu. Ia dikabarkan menyebut secara spesifik kaum non-biner dalam perlindungan warga negara yang dijamin oleh konstitusi.
HNW menjelaskan bahwa merujuk kepada banyak penelitian, non-biner sering kali dimasukkan ke dalam kelompok LGBTQ (Lesbian, Gay, Biseksual, Transgender, Queer). “Non-Biner itu masuk ke dalam payung Transgender. Jadi, apakah mau melindungi atau mengakui kaum Non-Biner sebagai LGBT? Ini harus dijelaskan kepada publik. Karena kalau itu yang dimaksud, maka jelas gagasan itu bertentangan dengan konstitusi yang berlaku di Indonesia juga tidak sesuai dengan sila pertama dari Pancasila,” ujarnya.
Lebih lanjut, HNW mengatakan bahwa ketentuan-ketentuan hak asasi manusia (HAM) yang tersebar di dalam UUD NRI 1945 memang diberikan kepada setiap orang, baik laki-laki atau perempuan. Namun, ketika jubir TKN itu menyebut non-biner itu di dalam perlindungan HAM, maka tentu akan menjadi pertanyaan publik, apakah yang dimaksud adalah melindungi mereka, kaum LGBTQ yang telah melakukan penyimpangan.
Apalagi, lanjutnya, bila merujuk kepada Pasal 28J ayat (2) UUD NRI 1945, pelaksanaan HAM di Indonesia dibatasi selain oleh hukum, pertimbangan moral juga nilai-nilai agama yang ada di Indonesia. “Dan semua agama tentu tidak mengakui perilaku menyimpang, seperti LGBTQ tersebut. Apabila ada penyimpangan dari ketentuan Konstitusi, maka yang perlu dilakukan adalah kampanye atau sampaikan gagasan untuk diperbaiki, bukan malah mengesankan akan melindungi dengan dalih sesuai Konstitusi padahal justru tidak sesuai dengan Konstitusi,” ujarnya.
HNW juga mengingatkan semua pasangan capres-cawapres bahwa dalam menyiapkan gagasan kampanye, seharusnya merujuk kepada UU No. 7 Tahun 2017 tentang Pemilu dan Peraturan KPU terkait. Di mana, salah satunya menyebutkan bahwa materi kampanye harus menjunjung tinggi pelaksanaan Pancasila dan UUD NRI 1945, serta menjaga dan meningkatkan moralitas dan nilai agama serta jati diri bangsa.
“Penyelenggara dan pengawas pemilu harus benar-benar memastikan bahwa hal itu berjalan dalam pelaksanaan kampanye. Dan bila perlu, apabila ada pasangan calon yang melanggar ketentuan materi kampanye itu, segera memberikan teguran dan koreksi dan bila masih berulang juga, wajarnya diberikan sanksi, tanpa ada pandang bulu. Agar kampanye dan Pemilu berjalan sesuai ketentuan aturan hukum dan Konstitusi dan ideologi negara Pancasila. Agar hasil Pemilu mendapatkan legitimasi yang tinggi karena kesesuaiannya dengan Konstitusi,” pungkasnya.