Nusantaratv.com - Wakil Ketua MPR, Syarief Hasan menolak rencana pemerintah mengkonversi penggunaan LPG 3 kg menjadi kompor listrik. Pemerintah seharusnya tidak terburu-buru memaksakan penggunaan kompor listrik kepada rakyat. Jika pemerintah beralasan beban subsidi yang semakin membengkak sehingga menekan APBN, alasan ini tentu patut dipertanyakan. Kita perlu menyelami kembali makna kehadiran negara dan konsep subsidi. Negara hadir untuk memastikan rakyatnya minimal tercukupi kebutuhan mendasarnya. Energi adalah kebutuhan pokok dan mendasar yang harus dijamin oleh negara.
"Saya melihat rencana pemerintah mengkonversi LPG menjadi kompor listrik adalah kebijakan yang terburu-buru dan tanpa persiapan. Jika klaim pemerintah adalah untuk menghemat APBN dan mengatasi over supply listrik PLN, maka sebenarnya persoalan ini akan teratasi dengan sendirinya dengan aktivitas industri yang akan mulai menggeliat. Megaproyek pembangkit listrik 35 GW dengan asumsi pertumbuhan ambisius 6 bahkan 7 persen ternyata melesat. Adakalanya kita memang perlu menahan dan mengukur diri," ujar Politisi Senior Partai Demokrat ini.
Lebih lanjut, Menteri Koperasi dan UKM di era Presiden SBY ini mengingatkan bahwa pelaku UMKM akan sangat kesulitan dan terbebani dengan penggunaan kompor listrik ini. Pada tahun 2021, terdapat sebanyak 64,2 juta UMKM dengan serapan tenaga kerja 117 juta jiwa. Dari jumlah sebanyak ini, tentu penggunaan energi sangatlah masif. Dapat kita bayangkan warung pinggir jalan, pecel ayam, gerobak nasi goreng, dan berbagai usaha mikro lainnya dipaksa menggunakan kompor listrik. Apakah pemerintah sempat berpikir dan memposisikan dirinya dengan rakyat kecil, yang penghidupannya sudah begitu sulit.
Syarief mengingatan jika perkara oversupply ini dijadikan landasan konversi energi, maka alasan ini sangatlah rapuh. Dengan tren pertumbuhan yang melandai, bahkan sempat terkontraksi, kebutuhan energi terutama bagi industri juga minim. Jadi membebankan kelebihan pasokan listrik kepada rakyat bukanlah pikiran yang bijak. Jika rakyat selalu menjadi korban atas kegagalan tata kelola energi, ini sebuah ironi. Jika perkara oversupply ini bersifat insidentil, sementara pemerintah tidak mampu menjamin keberlanjutan pasokan listrik, ini akan menjadi persoalan besar yang ditanggung sebagian besar rumah tangga miskin nantinya.
"Saya ingatkan betul kepada pemerintah jangan suka mengambil kebijakan berdasarkan perkara insidentil dan tanpa kajian dan persiapan yang matang. Subsidi adalah kewajiban negara guna perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Ini adalah bukti kehadiran negara. Menyalahkan subsidi sebagai beban fiskal membuat kita akan bertanya dimana dan apa peran pemerintah? Jikapun ternyata subsidi tidak tepat sasaran, jelas persoalannya pada kinerja pemerintah sendiri. Ibarat pepatah: janganlah mengusir tikus dengan cara membakar lumbung padi," sesal Anggota Majelis Tinggi Partai Demokrat ini.