Nusantaratv.com - Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia (MPR RI) Dr. H. M Hidayat Nur Wahid, MA mengkritik pernyataan hakim konstitusi Prof. Arief Hidayat yang mewacanakan dipergunakannya sistem pemilihan umum (pemilu) hybrid. Pernyataannya itu disampaikan dalam sidang uji materi di Mahkamah Konstitusi. Menurut HNW, pernyataan itu tidak sesuai dengan yang dimohonkan dan tidak sejalan dengan tugas pokok dan fungsi Hakim Konstitusi yaitu untuk menguji konstitusionalitas norma.
HNW mengingatkan:”Tugas MK itu adalah memutus apakah norma yang sedang diuji itu apakah bertentangan dengan UUD NRI 1945 atau tidak. Atau dengan kata lain, menguji konstitusionalitas suatu norma. Maka mestinya yang disikapi adalah apakah permohonan agar sistem Pemilu diubah dari terbuka menjadi tertutup itu sesuai dengan Konstitusi (UUDNRI 1945) atau tidak? Bukan malah membuat wacana system yang tidak ditanyakan yaitu hybrid dengan mengakomodasi sistem terbuka untuk memilih calon Presiden dan anggota DPD, dan tertutup untuk pemilu Legislatif. Sesuatu hal yang juga sudah dilaksanakan pada Pemilu tahun 2004, yang oleh MK diubah menjadi semuanya dengan sistem terbuka sejak Pemilu tahun 2009 hingga 2019,” ujarnya melalui siaran pers di Jakarta, Senin (10/4).
HNW sapaan akrabnya mengatakan bahwa terkait dengan sistem mana yang lebih baik atau kurang baik, sebaiknya diserahkan kepada pembentuk undang-undang sebagai bentuk dari open legal policy, yang biasanya menjadi pegangan dasar sikap MK.
“Jadi, MK sebaiknya cukup menegaskan bahwa sistem pemilu terbuka yang berlaku saat ini bagaimana dari segi konstitusionalitasnya. Bukan justru mengusulkan sistem yang lain, yang tidak diusulkan oleh para Pemohon,” tuturnya.
Lebih lanjut, HNW menjelaskan bahwa apabila MK konsisten dengan putusannya pada tahun 2008 yang lalu, maka sudah selayaknya bila permohonan pengujian sistem pemilu terbuka ini dinyatakan ditolak. Pasalnya, sejak awal, MK justru yang menyatakan sistem pemilu terbuka ini lah yang lebih sejalan dengan ketentuan UUD NRI 1945.
HNW mengaku memang mendengar adanya upaya untuk memperbaiki sistem pemilu dengan motode hybrid, tetapi hal tersebut sebaiknya diserahkan kepada pembentuk undang-undang, yakni DPR dan Pemerintah.
“Misalnya, ada usulan hybrid dengan suara caleg yang mencapai suara 30% maka ditetapkan sebagai aleg terpilih. Namun, apabila suara partai yang mencapai 30% ke atas, maka partai yang menentukan aleg terpilih,” ujarnya.
Model-model dengan sistem hybrid tersebut memang memerlukan kajian dan diskusi yang mendalam. Oleh karenanya, forum yang tepat dalam mendiskusikannya adalah dalam proses revisi UU Pemilu di DPR.
”Jadi, bukan persidangan di MK untuk forum mendiskusikan hal tersebut. Karena ini bukan berkaitan dengan konstitusionalitas norma. Forum yang tepat untuk mendiskusikannya adalah di DPR, bersama dengan Pemerintah dengan melibatkan publik dan mengundang banyak pakar,” tukasnya.
HNW berharap MK agar dapat fokus untuk mengadili permohonan sistem pemilu terbuka yang saat ini sedang dimohonkan.
“Maka agar tidak melebar kemana-mana. MK sebaiknya segera memutus menolak permohonan itu, karena sistem pemilu terbuka yang merupakan produk keputusan MK sendiri yg bersifat final dan mengikat itu, tidak bertentangan dengan UUD NRI 1945. Namun, apabila dalam persidangan ada perkembangan mengarah ke sistem hybrid, biarkan lah itu menjadi menjadi bagian dari open legal policy yang pembahasannya berada di ranah DPR dan Pemerintah selaku pembentuk undang-undang,”tukasnya
Selain itu, lanjut HNW, MK juga harusnya konsisten dalam memeriksa legal standing atau kedudukan hukum pemohon dalam perkara ini. Pasalnya, dalam berbagai peristiwa judicial review perkara lain, MK sangat concern dengan permasalahan legal standing pemohon. Ia mengingatkan bahwa yang menjadi pemohon dalam perkara sistem pemilu ini adalah perorangan bukan partai politik, padahal Pasal 22E ayat (3) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa peserta pemilu DPR dan DPRD adalah partai politik, bukan perseorangan.
“Berdasarkan argumentasi ini, sudah seharusnya, MK menyatakan bahwa permohonan uji materi ini tidak dapat diterima atau niet ontvankelijke verklaard (putusan NO) karena pemohon tidak memiliki legal standing atau kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan ini. Memang ada Partai yang mendukung sistem pemilu tertutup, tapi malah tidak ikut mengajukan permohonan judicial review. Sementara 8 dari 9 Partai peserta Pemilu yang lolos ke Parlemen (mayoritas mutlak) justru menolak perubahan kembali ke sistem tertutup, dan mengusulkan agar Pemilu 2024 tetap dengan sistem terbuka,” pungkasnya.