
Nusantaratv.com - MPR RI telah melaksanakan rapat gabungan dengan agenda mendengarkan laporan dari Badan Kajian tentang Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN), persiapan Sidang Tahunan, dan Hari Konstitusi, pada Senin (25/7/2022).
Rapat gabungan diikuti oleh Pimpinan MPR RI, pimpinan fraksi dan kelompok, serta Pimpinan Badan Kajian MPR RI.
Ketua Fraksi Partai Golkar MPR RI, Idris Laena mengatakan bahwa sesuai Pasal 50 Tata Tertib MPR, laporan dari Badan Pengkajian tentang Rancangan PPHN dapat diterima kemudian fraksi dan kelompok diberi kesempatan untuk melaporkan dan mengonsultasikan kepada partai masing-masing.
Idris menyampaikan, prosedur selanjutnya adalah Pimpinan MPR akan menggelar Sidang Paripurna yang diadakan khusus terkait Rancangan PPHN untuk mendengarkan pandangan masing-masing fraksi dan kelompok.
Dengan ketentuan jika mayoritas anggota MPR sebagai pemegang hak konstitusi yang hadir dalam paripurna tersebut dapat menerima Rancangan PPHN tersebut, maka Rapat Paripurna MPR baru bisa membentuk Panitia Adhoc untuk melakukan pembahasan lebih lanjut.
Ia mengungkapkan hampir semua fraksi dan kelompok dapat memahami pentingnya PPHN, namun ketika bicara tentang produk hukum yang akan menjadi landasan maka muncul perdebatan yang berkepanjangan.
"Yang jelas, jika harus dimasukkan dalam substansi UUD atau ditetapkan dengan TAP MPR akan ada konsekuensi amandemen UUD 1945 yang justru berpengaruh dalam menghadapi tahun-tahun politik ke depan, sangat tidak populis, serta akan menghadapi banyak tantangan karena sarat kepentingan politik," ujar Idris.
Idris mengungkapkan Fraksi Partai Golkar MPR RI dengan tegas menolak wacana penetapan TAP MPR RI sebagai dasar hukum PPHN tanpa harus melakukan amandemen UUD 1945 yang disebut Konvensi Ketatanegaraan.
Menurutnya, konvensi jelas tidak punya kekuatan hukum yang mengikat, baik terhadap lembaga negara yang lainnya apalagi untuk mengikat seluruh warga negara Indonesia.
"Kalau konvensi yang dijadikan contoh adalah Sidang Tahunan MPR RI setiap tanggal 16 Agustus yang setiap tahun dilaksanakan tanpa diatur oleh Konstitusi, tentu saja berbeda karena pidato tahunan bukan produk hukum," kata Idris Laena, mengutip ruangpolitikcom.
Apalagi saat tradisi pidato Sidang Tahunan dimulai, jelasnya, justru MPR RI memiliki kedudukan dan kewenangan tertinggi sebagai pelaksana kedaulatan rakyat sebagaimana diatur dalam UUD 1945. Bahwa kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan oleh MPR. Sementara, sejak amandemen konstitusi, MPR sudah tidak memiliki kedudukan sebagai lembaga tertinggi negara karena kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut undang-undang.
Idris Laena juga menuturkan rekomendasi Badan Pengkajian MPR yang menjadikan Pasal 100 Tata Tertib MPR sebagai landasan PPHN sudah pasti akan menjadi perdebatan panjang di kalangan masyarakat karena tata tertib masing-masing lembaga hanya mengikat ke dalam dan bukan bagian dari hierarki perundang-undangan di Indonnesia.
Ia menegaskan Fraksi Partai Golkar pasti akan menolak wacana menghadirkan PPHN dengan landasan hukum yang mengada-ngada dan terkesan dipaksakan.
Jika PPHN dibuat dengan undang-undang sebagai landasan hukumnya, ujar Idris, akan lebih baik karena undang-undang lebih mengikat sebagai produk hukum dan sekaligus dapat menggantikan undang-undang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang akan segera berakhir.