Nusantaratv.com - Anggota DPR-RI Komisi VIII dari FPKS yang di antaranya membidangi isu perempuan dan anak, Hidayat Nur Wahid, memperjuangkan penguatan ketahanan keluarga dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang Kesejahteraan Ibu dan Anak. HNW sapaan akrabnya menjelaskan, karena dimulai dengan keluarga yang harmonis yang dibangun atas asas pernikahan yang sah maka akan hadir Ibu dan Anak yang sehat dan sejahtera.
“Untuk itulah saya mengusulkan agar dimasukkan frasa “pernikahan yang sah” pada definisi keluarga dalam RUU KIA, hal ini sesuai dengan UUD NRI 1945 Pasal 28 B ayat 1. Alhamdulillah usulan tambahan frasa tersebut disetujui masuk di dalam definisi keluarga dalam RUU KIA,” disampaikan Hidayat pasca mengikuti FGD Panitia Kerja RUU KIA antara DPR-RI dan unsur Pemerintah, Selasa (4/4), di Jakarta.
HNW yang juga Wakil Ketua MPR ini menjabarkan, jika definisi keluarga sudah diikat dengan frasa pernikahan yang sah, maka seharusnya berbagai potensi masalah dalam mengelola keluarga seperti membimbing dan mendidik anak akan teratasi, juga masalah akut yang menjadikan perempuan (isteri) sebagai korban bisa dihindari sejak awal.
Misalnya banyak terjadinya kekerasan dalam rumah tangga terhadap anak-anak, juga makin banyaknya kejadian pernikahan dini yang mayoritasnya terjadi karena kehamilan di luar pernikahan yang menyebabkan Perempuan direndahkan dan sebagai ibu muda ditelantarkan oleh pasangannya. Itu semua akan bisa dicegah atau dikurangi jika hubungan mereka didahului oleh ikatan pernikahan yang sah yang dibenarkan oleh Agama.
“Oleh karena itu saya menekankan bahwa di antara dasar terpenting dari kesejahteraan ibu dan anak adalah adanya pernikahan yang sah. Setelah menjadi keluarga yang sah, dan kemudian mendapatkan kehamilan dan hadirnya anak, apalagi diberikan hak yang menguatkan peran sebagai ibu dan anak, di antaranya hak mendapatkan pelayanan kesehatan hingga pemberdayaan ekonomi, maka kesejahteraan, kesehatan dan kebahagiaan Ibu dan Anak akan lebih bisa diwujudkan,” lanjutnya.
Wakil Ketua Majelis Syura PKS ini menambahkan, di antara aspirasi yang banyak disampaikan kaum ibu pekerja adalah minimnya waktu untuk menemani bayi mereka. Sehingga ada permintaan perpanjangan cuti kehamilan dari yang sebelumnya hanya diberikan 3 bulan.
Namun di saat yang sama aspirasi dari kelompok industri menyatakan belum sanggup jika ditinggalkan oleh karyawatinya selama durasi tersebut, apalagi di tengah kondisi perekonomian yang belum optimal.
“Maka Saya mengusulkan jalan tengah agar RUU KIA memberikan hak cuti 6 bulan bagi ibu yang bekerja sebagai ASN baik itu di Pemerintah Pusat, Pemda, maupun BUMN, personil TNI, dan Polisi. Dan hak cuti setidaknya 3 bulan bagi yang bekerja di swasta. Alhamdulillah ini juga cenderung disetujui oleh forum Panja,” sambungnya.
Hidayat berharap, penyusunan revisi RUU KIA oleh Pemerintah pasca FGD Panja bisa segera dituntaskan sehingga bisa langsung dibahas dalam forum Rapat Kerja dengan Komisi VIII DPR-RI.
Adapun fokus dari RUU ini adalah pada 1000 hari pertama kehidupan anak, yakni mulai dari masa kehamilan seorang ibu hingga bayi berusia sekitar 2 tahun. Periode ini merupakan periode emas anak yang menentukan tumbuh kembangnya ke depan.
“Saya mendukung agar RUU ini fokus pada 1000 hari pertama kehidupan anak, sejak dalam kandungan. Agar “golden age”nya bisa fokus diadvokasi dan bisa mengoreksi stunting, serta berkontribusi siapkan generasi berkualitas. Apalagi memang masih ada kekosongan aturan hukum yang spesifik untuk kesejahteraan Ibu dan Anaknya pada usia 1000 hari. Semoga proses penyusunan RUU ini dilancarkan dan bisa cepat diputuskan menjadi Undang-Undang, agar segera berperan untuk menguatkan keluarga Indonesia melalui peningkatan dukungan bagi para ibu dan anak, khususnya di masa-masa emas mereka,” pungkasnya.