Nusantaratv.com- Wakil Ketua MPR-RI Dr. H. M. Hidayat Nur Wahid MA, menilai bantalan sosial sebesar Rp 24,17 triliun yang diluncurkan Pemerintah Senin (29/8/2022) tidak akan cukup untuk mewujudkan tujuan dikeluarkannya bansos. Bantalan sosial sebesar Rp 24,17 triliunan, itu juga tidak cukup memadai untuk menutupi kebutuhan rakyat sebagai dampak dari kenaikan harga-harga atau inflasi yang dialami oleh masyarakat.
Baik inflasi sebelum kenaikan harga BBM, apalagi dengan dinaikkannya harga BBM oleh Pemerintah. Pasalnya, bansos hanya diberikan kepada sebagian kelompok masyarakat saja dengan jumlah dan jangka waktu terbatas, sementara inflasi dan kenaikan harga berlangsung terus menerus dan dampak negatifnya dirasakan oleh masyarakat luas. Belum lagi masalah validitas data penerima manfaat yang selama ini belum diperbaiki oleh Kemensos dan disepakati dengan Komisi VIII DPR, dan karenanya terus jadi temuan di BPK.
"Karenanya peluncuran program bansos secara sepihak itu ibarat pelipur lara sesaat dari potensi melonjaknya inflasi akibat rencana kenaikan harga BBM, yang akan berlanjut terus dan tidak hanya berumur beberapa bulan saja. Mirip seperti BLT minyak goreng yang kini durasinya sudah habis, padahal standar harga minyak goreng tetap lebih tinggi dari periode sebelumnya. Itulah realitas yang dihadapi masyarakat tanpa mendapatkan BLT lagi dari Pemerintah," disampaikan Hidayat Nur Wahid yang akrab disapa HNW dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (30/8/2022).
HNW yang juga Anggota DPR-RI Komisi VIII membidangi urusan sosial ini mengingatkan, penetapan bansos senilai Rp 24,17 triliun untuk 20,65 juta keluarga sangat terburu-buru. Apalagi jika benar pendistribusiannya langsung dilaksanakan oleh Kemensos mulai 1 September 2022 atau hanya 3 hari setelah pengumuman.
Padahal, Kementerian Sosial masih punya utang penjelasan misalnya terkait temuan BPK soal penyimpangan 2,5% dana bansos dan invalidnya sejumlah data penerima bansos di DTKS.
"Harusnya Pemerintah menyelenggarakan rapat terlebih dahulu dengan DPR-RI untuk membahas soal kenaikan BBM, karena DPR juga belum memutuskan setuju bahkan beberapa fraksi menolak rencana kenaikan BBM. Baru setelah itu Menteri Sosial dengan Komisi VIII DPR-RI membahas validasi dan validitas data siapa saja penerima bansos alih-subsidi BBM ini. Serta kualitas data DTKS di Kemensos pasca temuan terakhir BPK. Jangan sampai program baru, tiba-tiba diluncurkan tanpa dibahas oleh DPR, lalu belakangan ditemukan oleh BPK banyaknya penyimpangan data dan tidak efektifnya program," sambungnya.
HNW menjelaskan, inflasi IHK pada Juli 2022 telah mencapai 4,94% year on year. Dari jumlah tersebut komponen makanan mencatatkan inflasi yang sangat tinggi, mencapai 11,47% yoy. Hal ini tentu akan semakin parah jika nantinya terjadi kenaikan harga bahan bakar minyak.
Sementara dalih Pemerintah bahwa BBM hanya dikonsumsi oleh masyarakat mampu juga cenderung bias. Karena standar mampu yang ditetapkan dalam Garis Kemiskinan hanyalah berpendapatan Rp 505 ribu per orang per bulan. Garis tersebut juga seharusnya dikoreksi karena masih dibasiskan pada survei kebutuhan dasar (SPKKD) tahun 2004.
"Kebutuhan dasar hari ini dengan tahun 2004 tentu jauh berbeda, dan jika ditanyakan kepada masyarakat, pasti sangat kesulitan untuk bisa hidup dengan hanya Rp 500 ribuan per bulan. Oleh karena itu Pemerintah seharusnya fokus dan serius menjaga kestabilan harga-harga agar masyarakat mampu bertahan hidup layak, bukan justru memberikan pelipur lara dengan bansos yang berdurasi hanya 4 bulan dan rawan tidak tepat sasaran. Sementara tidak ada jaminan bahwa setelah 4 bulan bansos akan berlanjut, atau harga BBM kembali turun ke harga sebelum dinaikkan," lanjutnya.
HNW mempertanyakan kepada Kemensos dan Kemenkeu terkait kebutuhan tambahan anggaran perlindungan sosial tahun 2022 yang sudah dibahas bersama antara Komisi VIII DPR-RI dengan Menteri Sosial (6/6/2022). Adapun kebutuhannya sekitar Rp 7,8 triliun untuk membiayai kekurangan anggaran program PKH bagi Lansia, kekurangan anggaran bantuan penanganan korban bencana alam, bencana sosial, dan non alam, tambahan program atensi bagi 4 juta anak yatim/piatu, dan biaya penyaluran PT POS Indonesia.
"Ada bansos reguler dan keberpihiakan pada anak yatim/piatu senilai Rp 7,8 triliun yang hingga kini tidak jelas pengalokasian anggarannya, tapi dalam kondisi seperti ini Pemerintah tiba-tiba malah mampu menyiapkan bansos senilai Rp 24,17 triliun tanpa melalui pembahasan sama sekali. Praktik ini sangat mengecewakan para pihak yang berhak menerima manfaat, mengesampingkan peran DPR-RI, serta tidak memenuhi rasa keadilan," ujarnya.
"Kalau Pemerintah belum bisa memenuhi semua kewajibannya terhadap rakyat penerima manfaat, sebagai mestinya tidak menaikkan harga BBM. Meskipun dampaknya coba dialihkan dengan pemberian bansos, tentu akan menambah beban jangka panjang yang dipikulkan terhadap Rakyat secara umum," pungkasnya.