Nusantaratv.com - Fraksi Partai Gerakan Indonesia Raya (F-Gerindra) MPR RI kembali mengadakan Diskusi Publik Akademik, di Bogor (6/9/23023). Tema yang diusung kali ini yaitu ‘Mengembalikan MPR RI sebagai Lembaga Tertinggi Negara: Kemajuan atau Kemunduran dalam Demokrasi?’. Tema tersebut dipilih karena telah lama menjadi perbincangan yang hangat di tengah masyarakat.
Gelar Diskusi Publik Akademik ini dihadiri beberapa anggota MPR/DPR RI, antara lain Sekretaris F-Gerindra MPR Elnino Mohi, Sodik Mudjahid, Katherine Oendoen, dan Bahtra Banong. Selain itu, terdapat beberapa pakar seperti Fuad Bawazier dan Martin Hutabarat.
Terkait menata kembali MPR RI, sebelumnya, Ketua MPR Bambang Soesatyo telah menyatakan bahwa ‘setelah 25 tahun memasuki era reformasi, saatnya merenungkan kembali penataan lembaga-lembaga negara’. Hal itu disampaikan Pimpinan MPR yang akrab disapa Bamsoet itu, saat menyampaikan pidato pengantar Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2023, di Kompleks MPR/DPR-RI, Senayan, Jakarta, Rabu (16/9/2023).
Salah satu pakar, Fuad Bawazier mengungkapkan bahwa hal yang terpenting dalam penyelenggaraan negara adalah kesepakatan dan semangat. Jika semua hal tersebut disepakati, bukan tidak mungkin mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara dapat diwujudkan.
Seperti halnya pada masa Orde Baru, hal tersebut dapat terwujud karena memang semangat dalam penyelenggaraan negara atau pemerintahan pada saat itu menginginkan adanya lembaga tertinggi yang dapat mengambil keputusan sepihak disaat negara, berada dalam keadaan mendesak ataupun berbahaya.
Pada saat itu, MPR merupakan pengejawantahan dari kekuasaan rakyat. Saat masa Reformasi, euforia demokrasi sangatlah menggebu secara nasional. Akhirnya, semangat yang sebelumnya ada pun berubah. MPR tidak lagi menjadi lembaga tertinggi negara dan semua setara sebagai lembaga negara.
“Tentu saja, tidak serta-merta mengembalikan segala macam hak dan kewenangannya seperti pada saat Orde Baru. Ada yang harus disesuaikan dengan dinamika masyarakat saat ini,” ujarnya.
Sementara itu, menurut Elnino Mohi, penguatan kembali MPR pertama kali disuarakan oleh DPD. Seperti yang disebutkan sebelumnya, hal tersebut disuarakan karena ada ketimpangan wewenang antara DPR dengan DPD. Elnino berpendapat bahwa hal tersebut menimbulkan perdebatan yakni, tentu mayoritas dari anggota DPR akan menolak (penyetaraan wewenang DPR dengan DPD) karena nantinya dapat meningkatkan kompleksitas dalam pengambilan keputusan dan pembuatan undang-undang.
Akhirnya, usulan yang relatif disetujui adalah penguatan MPR dibandingkan dengan menyetarakan antara DPR dengan DPD secara langsung. Kemudian, Elnino menekankan bahwa mengembalikan MPR menjadi lembaga tertinggi, merupakan cara untuk efisiensi waktu dalam pengambilan suatu keputusan.
Dengan demikian, anggota DPR dan DPD yang tergabung dalam MPR dapat turut serta dalam pengambilan keputusan. MPR kembali dapat membuat ketetapan dalam bentuk TAP MPR-RI yang dapat digunakan sebagai rujukan dalam pembuatan undang-undang selain dari UUD 1945.
Martin Hutabarat juga memberikan pendapatnya mengenai isu ini. “Kita harus memperjelas maksud dari mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Lembaga tertinggi negara seperti apa dan bagaimana yang diinginkan saat ini. Lembaga tertinggi negara yang sesuai dengan UUD 1945 atau yang tidak sesuai dengan UUD 1945,” ujarnya.
Tentu, menurut Martin, semua harus mengevaluasi isu ini, menyerap aspirasi rakyat, dan kemudian membuat kajiannya untuk dapat mengetahui untung dan ruginya jika MPR kembali menjadi lembaga tertinggi.
Di kesempatan yang sama, Sodik Mudjahid menjelaskan bahwa euforia demokrasi di Indonesia berlangsung sangat masif dan cepat pasca reformasi. Menurutnya, demokrasi di Indonesia sudah cenderung mengarah ke demokrasi liberal.
“Seharusnya, kita tetap berpegang pada Pancasila, dari mulai ekonomi dan juga politiknya yang berlandaskan pada musyawarah. Pada intinya, kita harus mengevaluasi sistem yang ada saat ini,” katanya.
Pada akhirnya, mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi negara merupakan suatu hal yang mungkin saja dapat diwujudkan. Namun, hal tersebut tidaklah mudah. Sebab, tentu akan menimbulkan perdebatan dari berbagai kalangan masyarakat. Sehingga, perlu kiranya wacana ini harus disertai dengan kajian akademis yang matang.
Yang perlu diperhatikan adalah mengembalikan MPR sebagai lembaga tertinggi, tidak serta-merta berbentuk seperti masa lalu. Diperlukan berbagai penyesuaian dengan dinamika masyarakat saat ini. Semangat dan kesepakatan penyelenggaraan negara oleh pemerintah dan seluruh aspek bangsa adalah kunci.
Tentu semua tidak ingin tercatat sebagai negara yang mengalami kemunduran dalam aspek demokrasi, tetapi kita semua tidak boleh juga terlalu terlena dengan euforia kebebasan yang membuat Indonesia ‘terjerumus’ ke dalam demokrasi liberal. Indonesia memiliki Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945 yang dapat dijadikan basis dalam setiap aspek kehidupan. Hal itulah yang patut disadari dan dihidupkan ke setiap generasi bangsa.