Nusantaratv.com - Peningkatan jumlah peminjam atau nasabah, dan peningkatan nilai pinjaman Fintech dengan mekanisme P2P lending memberi bukti tentang tingginya kebutuhan masyarakat akan jasa pembiayaan. Masyarakat memilih dan menjadikan Fintech P2P lending sebagai alternatif atau jalan keluar karena kebutuhan akan jasa pembiayaan itu tak dapat dipenuhi oleh lembaga keuangan konvensional. Namun hal tersebut perlu diwaspadai oleh lembaga otoritas keuangan akan dampak turunannya. Baik terhadap masyarakat pengguna maupun perbankan.
Menurut data Otoritas Jasa Keuangan (OJK), hingga Agustus 2021, penyaluran pinjaman atau pembiayaan melalui mekanisme P2PLending sudah mencapai nilai Rp 101,51 triliun. Penyaluran pinjaman tertinggi terjadi pada Juli 2021 dengan total Rp 15,66 triliun dan sedikit menurun pada Agustus tahun ini dengan total penyaluran Rp 14,95 triliun.
Pertumbuhan tahunannya juga terbilang tinggi. Sampai dengan Agustus 2021, realisasi jasa pembiayaan fintech P2P lending tumbuh dengan 70,36 persen menjadi Rp 26,10 triliun. Sedangkan pertumbuhan tahunan kredit perbankan per Juli 2021 tercatat 0,5 persen.
Data OJK juga menunjukan peningkatan signifikan minat masyarakat memanfaatkan Fintech dengan mekanisme P2P (peer to peer) lending untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan. Pada periode Januari-Agustus 2021 misalnya, mekanisme pembiayaan P2P lending dimanfaatkan oleh tidak kurang dari 237,63 juta entitas.
Rangkaian data ini, menurut Bamsoet, menjelaskan bahwa potensi pasar pembiayaan di dalam negeri itu riel dan sangat besar. Bahkan, di tengah krisis kesehatan, kebutuhan akan jasa pembiayaan itu tetap tinggi.
"Berkat perkembangan teknologi finansial yang menghadirkan ragam aplikasi, masyarakat yang butuh jasa pembiayaan kini tidak lagi mengandalkan perbankan,’’ ujarnya.
Pilihan masyarakat yang jatuh pada fintech P2P lending lebih disebabkan mekanisme dan prosesnya dibuat sederhana, cepat serta efisien. P2P lending adalah sistem atau plaform yang menghubungkan calon penerima pembiayaan dengan penyedia pembiayaan melalui teknologi.
Kelompok investor sebagai penyedia pembiayaan tidak melihat faktor atau syarat bankable dari calon penerima pembiayaan. Di perbankan, seseorang harus memenuhi beberapa syarat untuk mendapatkan status bankable agar bisa mendapatkan pembiayaan. Kalau tidak memenuhi persyaratan, yang bersangkutan akan masuk dalam kelompok nasabah unbankable.
Pada mekanisme P2P Lending, proses menyetujui sebuah proyek pembiayaan berlangsung singkat selama aspek legalitas proyek terpenuhi dan berkepastian. ‘’
Karena mekanisme P2P lending terbilang baru, tentu banyak aspek masih harus dibenahi. Efektivitas aspek pengawasan harus ditingkatkan untuk melindungi investor dan masyarakat sebagai nasabah,’’ kata Bamsoet.