Nusantaratv.com - Dukungan realisasi deteksi dini harus terus didorong agar tindakan pencegahan dan pengobatan penyakit langka di tanah air dapat terus ditingkatkan.
"Penyakit langka kerap mengancam jiwa. Melalui upaya preventif dan dukungan tindakan pengobatan yang konsisten, paparan penyakit langka di masyarakat diharapkan dapat ditekan lebih rendah," kata Wakil Ketua MPR RI, Lestari Moerdijat dalam sambutan tertulisnya pada diskusi daring dengan tema Penyakit Langka dan Teknologi Terpadu yang digelar Forum Diskusi Denpasar 12, Rabu (29/3).
Diskusi yang dimoderatori Anggiasari Puji Aryatie (Tenaga Ahli Wakil Ketua MPR RI) itu, menghadirkan Dr. Eva Susanti, S.Kp., M.Kes. (Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI), Prof. Dr. dr. Damayanti Rusli Sjarif, Sp.A(K) (Kepala Pusat Penyakit Langka RSUPN Cipto Mangunkusumo – Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia), Dr. Rachmita Maun Harahap, S.T., M.Sn (Komisoner Komnas Disabilitas) dan Peni Utami, S.E., M.M (Ketua Yayasan MPS dan Penyakit Langka Indonesia) sebagai narasumber.
Selain itu, hadir pula Premana W. Premadi, Ph.D (Ketua dan Pendiri Yayasan ALS Indonesia) dan Drs. Gufroni Sakaril, M.M. (Ketua Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia) sebagai penanggap.
Menurut Lestari, optimalisasi dalam pencegahan dan pengobatan penyakit langka harus didorong lewat kolaborasi sejumlah pihak dan strategi yang tepat, agar Indonesia mampu menangani penyakit langka dan mengembangkan pengobatan yang efektif untuk meningkatkan kualitas hidup penderitanya.
Jumlah penduduk Indonesia yang terpapar penyakit langka berdasarkan catatan Kemenkes, ujar Rerie sapaan akrab Lestari, harus menjadi acuan untuk segera berbenah dalam mengatasi berbagai kendala.
Saat ini, jelas Rerie yang juga legislator dari Dapil II Jawa Tengah itu, kendala yang dihadapi dalam penanganan penyakit langka di tanah air antara lain belum sepenuhnya deteksi dini dilakukan dan tahapan pengobatannya masih mahal.
Selain itu, tambah Anggota Majelis Tinggi Partai NasDem itu, proses diagnosa penyakit langka masih membutuhkan waktu lama, serta penanganan penyakit melibatkan ahli dari sejumlah disiplin ilmu.
Menurut Rerie, para pemangku kepentingan perlu memastikan tata kelola penanganan penyakit langka di Indonesia berjalan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
Karena itu, jelas dia, perlindungan dan dukungan jaminan sosial kepada penyintas penyakit langka penting untuk dilakukan.
"Kolaborasi pemerintah, lembaga swasta penyedia layanan kesehatan, peneliti, dan kelompok advokasi pasien perlu diperkuat dalam penanganan penyakit langka di tanah air," tegasnya.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kemenkes RI, Eva Susanti mengungkapkan 50% penyandang penyakit langka adalah anak-anak, namun hanya 5% ketersediaan obat-obatan untuk penyakit langka itu.
Menurut Eva, berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah untuk mengatasi kondisi tersebut, tetapi untuk mengatasi penyakit langka saat ini memerlukan penguatan surveilans, deteksi dini dan tata laksana yang tepat dari setiap kasus.
Namun, jelas Eva, kurangnya tenaga kesehatan yang memiliki kemampuan deteksi dini penyakit langka, alat diagnosa dan pengobatan serta terapi yang mahal, masih menjadi tantangan di Indonesia.
Dengan kompleksnya tantangan yang dihadapi dalam upaya mendeteksi jenis penyakit langka ini, menurut Eva, kolaborasi multi sektor harus segera direalisasikan dalam upaya membangun sistem pengobatan penyakit langka di tanah air.
Kepala Pusat Penyakit Langka RSUPN Cipto Mangunkusumo, Damayanti Rusli Sjarif berpendapat pengobatan penyakit langka adalah never ending process.
Menurut Damayanti, penyakit langka di setiap negara berbeda-beda, tergantung ketersediaan alat diagnosa yang dimiliki negara tersebut.
Batasan penyakit disebut langka di Indonesia, ujar Damayanti, ketika jumlah pasien penyakit tersebut kurang dari 2.000 pasien. Diperkirakan saat ini 10% populasi dunia menderita penyakit langka.
Dalam penanganan penyakit langka, tegas dia, tahapan diagnosa sangat penting. Karena keterbatasan dalam skrining, obat dan proses terapi, penanganan penyakit langka di Indonesia banyak menghadapi tantangan.
Tantangan semakin kompleks, tambahnya, karena sejumlah institusi belum cukup mendukung dalam proses pengadaan obat dan tata laksana terapi yang dibutuhkan penderita.
Damayanti mendorong agar para wakil rakyat di parlemen bersama Pemerintah untuk membuat undang-undang agar penanganan penyakit langka sepenuhnya dijamin oleh negara, mengingat proses yang panjang dan biaya yang tidak terjangkau oleh masyarakat.
Komisioner Komnas Disabilitas, Rachmita Maun Harahap berpendapat penyakit langka memiliki kaitan erat dengan kondisi disabilitas baik disabilitas fisik maupun intelektual.
Rachmita mendorong pemerintah pusat membuat komitmen kerja sama dengan pemerintah daerah dan mitra swasta untuk meningkatkan akses yang tepat waktu dan adil terhadap pembiayaan BPJS, obat-obatan, serta proses diagnosis bagi penderita penyakit langka.
Rachmita juga mengusulkan pembentukan pusat penyakit langka untuk penanganan dalam bentuk diagnosa dan pengobatan pasien penyakit langka yang lebih terpadu.
Pada kesempatan itu, Ketua Yayasan MPS dan Penyakit Langka Indonesia, Peni Utami mengungkapkan sejumlah peran yang dilakukan yayasan yang dipimpinnya dalam membantu penanganan penyakit langka di Indonesia.
Antara lain, ungkap Peni, pada 2016 Yayasan MPS dan Penyakit Langka Indonesia ikut mengatasi kendala pajak impor obat-obatan dan bahan pangan untuk penderita penyakit langka di Indonesia.
Yayasan yang dipimpinnya, tambah dia, juga berupaya membantu pembiayaan pengobatan penyakit langka dengan menggalang dana masyarakat untuk membiayai proses diagnostik yang mahal.
Ketua dan Pendiri Yayasan ALS Indonesia, Premana W. Premadi berpendapat saat ini sudah terlihat upaya secara institusional dalam upaya penyembuhan hingga perbaikan kualitas hidup penderita penyakit langka di Indonesia.
Upaya itu, jelas Premana, antara lain terlihat dalam bentuk penguatan deteksi dini melalui peningkatan kualitas tenaga kesehatan.
Selain itu, tambahnya, perlu dukungan sejumlah kebijakan lewat pembuatan sejumlah aturan yang mengedepankan nilai-nilai kemanusiaan untuk penanganan penyakit langka.
Ketua Perkumpulan Penyandang Disabilitas Indonesia, Gufroni Sakaril berpendapat penderita penyakit langka berpotensi mengalami disabilitas.
Sehingga kunci dalam penanganan penyakit langka, tegas Gufroni, adalah diagnosa sejak dini harus dilakukan, tetapi terkendala biaya tinggi.
Sehingga, tegas Gufroni, bila penyakit langka sudah memberatkan masyarakat, negara harus hadir. Untuk itu perlu ada mekanisme agar penyakit langka memiliki pola pendanaan untuk membiayai deteksi dan pengobatan agar terjangkau.
Karena penderita penyakit langka, ujar Gufroni, juga ada yang bisa disembuhkan dan penyintasnya bisa mengembangkan potensi yang dimilikinya secara maksimal. "Jadi ada potensi anak bangsa yang harus diselamatkan," ujarnya.
Di akhir diskusi, wartawan senior Saur Hutabarat memuji peran Prof Damayanti atas perannya dalam meningkatkan penanganan penyakit langka di tanah air.
Saur juga mendukung dorongan agar Pemerintah Indonesia belajar penanganan penyakit langka ke Vietnam, yang memberikan bebas biaya selama 5 tahun dalam penanganan anak dengan penyakit langka.
Pada kesempatan itu, Saur juga mengusulkan, dana abadi bea siswa LPDP di Kementerian Keuangan senilai Rp145 Triliun sebagian dimanfaatkan untuk membiaya tenaga kesehatan dan dokter belajar penanganan penyakit langka, dalam rangka peningkatan tenaga diagnosa penyakit langka di tanah air.