Nusantaratv.com - Ketidakpastian dunia yang berlarut-larut akibat konflik dan wabah penyakit nyata-nyata telah memperlemah kinerja perekonomian banyak negara. Tekanan terhadap perekonomian global makin diperparah oleh ragam ekses akibat perubahan iklim, seperti kasus gagal panen pada sektor pertanian tanaman pangan. Karena itu, merawat daya tahan ekonomi menjadi tantangan bagi semua negara, termasuk Indonesia.
Ketika dinamika global hari-hari ini benar-benar tidak kondusif, Indonesia tidak boleh bangkrut karena salah urus. Itulah tujuan utama menjaga daya tahan perekonomian nasional. Masih segar dalam ingatan banyak orang ketika Bulan Juli 2022 lalu, sebuah negeri di Asia Selatan dinyatakan bangkrut karena salah urus. Pemimpin negeri itu melarikan diri ke negara lain. Sebagian masyarakatnya meluapkan kekecewaan dengan menyerbu dan menduduki Istana kepresidenan.
Diyakini bahwa semua elemen masyarakat Indonesia pun selalu berharap salah urus atau mismanagement tidak pernah terjadi pada aspek tata kelola perekonomian nasional. Segenap warga bangsa pasti berharap daya tahan perekonomian selalu terjaga. Sebab, dengan perekonomian nasional yang daya tahannya terjaga di tengah ragam tekanan eksternal itu, negara dipastikan masih mampu menjalani fungsinya menjaga kedaulatan, melindungi segenap warga bangsa, dan terutama menyelanggarakan ragam jaring pengaman sosial untuk membantu kelompok masyarakat yang lemah.
Agar ekonomi Indonesia mampu bertahan di tengah ketidakpastian itu, salah urus atau kecerobohan tata kelola tidak bisa ditolerir. Keputusan pemerintah mengurangi subsidi BBM (bahan bakar minyak) pada pekan pertama September 2022 patut dipahami sebagai jalan keluar atau strategi menghindar dari salah urus. Jor-joran memberi subsidi adalah salah satu bentuk salah urus keuangan negara.
Apalagi, realisasi subsidi BBM sendiri sudah ditandai dengan salah urus yang demikian mencolok, yakni tidak tepat sasaran. Seperti sudah menjadi catatan bersama, 80 persen dari total subsidi BBM justru dinikmati oleh kalangan yang mampu. Dengan fakta ini, sama artinya negara mensubsidi kelompok masyarakat yang berkecukupan. Tentu saja tidak bisa diterima akal sehat, sebab subsidi lazimnya menyasar mereka yang lemah.
Karena tidak tepat sasaran itulah mekanisme penyaluran subsidi BBM perlu dikoreksi. Mau tak mau, subsidi BBM-nya harus dikurangi sehingga harga jual BBM bersubsidi harus naik. Sedangkan nilai pengurangan subsidi BBM itu digunakan atau dialihkan menjadi bantuan langsung tunai (BLT) yang hanya diberikan kepada kelompok masyarakat yang berhak.
Kalau kebijakan subsidi yang jor-joran alias tidak tetap sasaran itu dibiarkan berlanjut, neraca keuangan negara menjadi sangat tidak sehat. Bahkan bisa menjerumuskan negara ke posisi bangkrut. Benar bahwa tidak semua orang mau menerima atau memahami keharusan negara mengurangi subsidi BBM yang konsekuensi logisnya berwujud naiknya harga jual BBM bersubsidi. Namun, sebuah keputusan untuk menyelamatkan kepentingan nasional yang lebih besar tetap harus diambil, sekali pun keputusan itu bernuansa tidak populis.
Sebagaimana dipahami bersama, akibat lonjakan harga minyak di pasar dunia, anggaran subsidi BBM dalam APBN 2022 membengkak dari Rp 152 triliun menjadi Rp 502,4 triliun untuk kuota 23 juta kilo liter Pertalite dan 15,1 juta kiloliter Solar. Akibat penyaluran yang tidak tepat sasaran itu, kuota pertalite dan solar subsidi diperkirakan akan habis pada Oktober mendatang.
Kalau penyaluran subsidi yang tidak tepat sasaran itu ingin dipertahankan hingga akhir tahun anggaran 2022, kuota pertalite harus ditambah menjadi 29,1 juta kiloliter, dan solar bersubsidi ditambah menjadi 17,4 juta kiloliter. Untuk tambahan dua kuota BBM bersubsidi itu, anggaran subsidi BBM 2022 memerlukan tambahan biaya sedikitnya Rp 195 triliun.
Dan, 80 persen dari tambahan anggaran subsidi itu masih dikonsumsi oleh kelompok masyarakat yang mampu. Kalau pola kebijakan seperti ini terus dipertahankan, sama artinya masyarakat membiarkan negara dan pemerintah salah urus keuangan negara. Potensi salah urus keuangan negara itulah yang mestinya diprotes oleh siapa saja peduli.
Maka, keputusan pemerintah mengurangi subsidi BBM yang mulai berlaku pada 3 September 2022 siang itu patut dipahami sebagai jalan keluar atau strategi menghindar dari salah urus keuangan negara. Menghindari salah urus keuangan negara itu menjadi bagian dari upaya menjaga daya tahan perekonomian nasional saat dunia masih diselimuti ketidakpastian yang berlarut-larut.
Karena strategi yang dipilih pemerintah dalam merawat daya tahan perekonomian nasional adalah mengurangi subsidi BBM, pilihan itu layak dimaknai sebagai ajakan kepada semua elemen masyarakat untuk bersama-sama merawat daya tahan ekonomi negara di tengah ragam tekanan eksternal.
Memang, dinamika kehidupan hari-hari ini tidak nyaman karena harga barang dan jasa, termasuk harga bahan pangan, menjadi lebih mahal dari hari-hari sebelumnya. Kenaikan harga barang dan tarif jasa-jasa itu menjadi konsekuensi logis dari naiknya harga energi sebagai salah faktor dalam proses produksi.
Namun, ketidaknyamanan akibat lonjakan harga energi itu tidak hanya dirasakan masyarakat Indonesia. Komunitas masyarakat di berbagai belahan dunia pun merasakan hal yang sama. Masyarakat di negeri-negeri kaya seperti Amerika Serikat dan Eropa sudah sejak beberapa lalu mengeluhkan mahalnya harga bensin dan gas.
Di Indonesia, berkat daya tahan dan pertumbuhan ekonomi yang impresif, negara masih mampu mensubsidi kebutuhan masyarakat akan energi, seperti BBM, gas dan daya listrik. Hanya karena sebagian besar subsidi BBM terbukti tidak tepat sasaran, pemerintah harus berkeputusan mengurangi subsidi BBM. Namun, bagi mereka yang lemah dan rentan, subsidi tetap disediakan dalam wujud BLT.
Dengan tetap memrioritaskan daya tahan perekonomian nasional, diyakini bahwa pemerintah akan tetap mengalokasikan anggaran untuk subsidi energi pada tahun anggaran 2023 mendatang.