Nusantaratv.com - NET Zero Emission (NZE) atau netralitas karbon tahun 2060 menjadi agenda kerja dan proses berkelanjutan untuk transisi penggunaan energi, dari energi fosil yang polutif ke energi bersih, minim emisi, dan ramah lingkungan, hasil dari pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT). Dengan tersedianya sumber-sumber energi bersih yang lebih dari memadai dan beragam, Indonesia diyakini mampu merealisasikan NZE pada waktunya.
Namun, sebagaimana sudah dipahami bersama, transisi energi tidak bisa berlangsung cepat. Tak hanya inovasi, melainkan juga perlu kerja dan proses berkelanjutan yang konsisten, dengan durasi waktu hingga puluhan tahun. Sebab, dalam tahap transisi itu, harus diupayakan teknologi baru untuk memroses ragam sumber energi menjadi energi bersih siap pakai. Sudah barang tentu butuh investasi, termasuk menyediakan infrastruktur energi untuk interkoneksi jaringan.
Komitmen merealisasikan NZE merupakan bagian dari upaya komunitas global merawat dan merevitalisasi bumi yang tengah berselimut krisis iklim. Sejumlah penelitian sudah membuktikan bahwa penggunaan atau pembakaran energi fosil untuk industri dan transportasi yang terus meningkat dalam beberapa dekade terakhir menjadi penyumbang terbesar gas karbon dioksida (CO2) --juga dikenal sebagai gas rumah kaca (GRK).
GRK yang semakin tebal di atmosfer otomatis berfungsi sebagai penyekat panas matahari ke bumi. Suhu bumi dengan sendirinya meningkat, yang pada gilirannya memengaruhi semua aspek kehidupan manusia. Hasil penelitian juga membuktikan bahwa pemanasan global tak hanya berdampak pada kuantitas dan kualitas air, tetapi juga menghadirkan dampak cukup serius terhadap aspek kesehatan manusia.
Fakta tentang ekses kenaikan suhu bumi itulah yang mendorong komunitas global bersepakat dalam Perjanjian Paris pada 2015 bagi upaya mitigasi, adaptasi dan upaya lain untuk merespons perubahan iklim. Sebanyak 195 negara yang menandatangani Perjanjian Paris bersepakat mengurangi emisi CO2 dan GRK lain untuk meminimalisir pemanasan global pada level di bawah dua (2) derajat Celsius.
Indonesia ikut menandatangani Perjanjian Paris itu. Sebagai tindak lanjut Kesepakatan Paris, Indonesia bersama negara-negara anggota G20 menunjukan kesungguhan dengan menetapkan target NZE pada kisaran waktu tahun 2050-2070. G20 tidak menyeragamkan upaya, melainkan diserahkan kepada kemampuan setiap negara anggota berdasarkan kondisi ekonomi, sosial, ketersediaan sumber energi, dan perkembangan teknologi masing-masing negara anggota.
Peta jalan (road map) transisi energi Indonesia sudah dirancang. Bahkan, Presiden Joko widodo sudah menetapkan ambisi Indonesia untuk merealisasikan NZE pada 2060, atau lebih cepat. Untuk pencapaian target itulah model kebijakan energi nasional dewasa ini telah mengarah pada transisi energi dimaksud. Dan, demi konsistensi kerja dan proses, transisi energi tak boleh dihentikan atau diubah-ubah. Pokok-pokok Halauan Negara (PPHN) yang sedang dirumuskan MPR RI akan memastikan bahwa rangkaian tahap transisi energi akan terus berkelanjutan, kendati figur kepala pemerintahan RI berganti nantinya.
Dalam rangkaian tahap transisi energi di Indonesia, sudah ditetapkan bahwa energi fosil masih digunakan sebagai perantara. Seperti diketahui bersama, untuk penyediaan daya listrik selama ini, pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) menggunakan batu bara sebagai bahan bakar. Sedangkan sektor transportasi di dalam negeri pun masih mengandalkan penggunaan bahan bakar minyak (BBM) yang bersumber dari energi fosil.
Ketika waktunya tiba, penggunaan energi fosil akan dikurangi. Bersamaan dengan berkurangnya penggunaan energi fosil, pemerintah dan semua elemen masyarakat harus bertekad memanfaatkan sumber-sumber energi lain seperti angin, air serta sinar matahari. Para ahli sudah menghitung bahwa di Indonesia, kekuatan tiga sumber energi ini lebih dari memadai. Sayangnya, sejauh ini belum dimanfaatkan dengan maksimal.
Kini, dengan tumbuhnya kesadaran akan urgensi penggunaan energi bersih, negara dan segenap elemen masyarakat hendaknya mulai lebih bersungguh-sungguh mengembangkan dan mengolah angin, air dan matahari menjadi energi untuk berbagai kebutuhan. Apalagi, mengembangkan dan mengolah angin, air serta matahari sebagai sumber energi sudah dikenal dan dicoba, walaupun oleh kalangan terbatas.
Di masa lalu, misalnya, eksperimen hingga proyek pembangkit listrik tenaga mikrohidro (PLTMH) sudah coba dikembangkan dengan hasil yang cukup menjanjikan. Namun, karena belum adanya kesungguhan dan minimnya tanggapan, gagasan-gagasan seperti itu tidak segera berkembang. Bersyukur bahwa akhir-akhir ini sejumlah pihak telah berinisiatif membangun proyek Pembangkit Listrik Tenaga Minihidro (PLTM).
Dalam road map transisi energi, ditetapkan perlunya sejumlah inisiatif dan kebijakan yang akan merubah kebiasaan selama ini. Misalnya, dimunculkan dorongan untuk penggunaan kompor listrik, lampu LED serta peningkatan penggunaan gas di perkotaan. Selain itu, pemerintah terus berupaya agar target bauran energi nasional dari EBT sebesar 23 persen pada tahun 2025 dapat diwujudkan.
Untuk mempercepat pencapaian target bauran 23 persen itu, pemerintah mendorong masyarakat meningkatkan pemanfaatan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), karena potensinya berlimpah dan pembiayaannya makin terjangkau. Menurut data Kementerian ESDM per Juni 2022, sumber EBT telah menghasilkan listrik hingga 17,89 gigawatt.
Untuk mencapai target tahun 2025 itu, sudah barang tentu diperlukan rangkaian upaya yang lebih intensif. Seperti diketahui, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) telah menerbitkan Peraturan Menteri ESDM No. 26/2021 tentang Pembangkit Listrik Tenaga Surya Atap yang Terhubung Pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (IUPTLU).
Penerbitan peraturan Menteri ESDM itu hendaknya ditindaklanjuti dengan aksi sosialisasi kepada seluruh elemen masyarakat hingga ke pelosok-pelosok desa. Sosialisasi peraturan itu idealnya juga disertai dengan program pengenalan PLTS Atap. Sebab, tidak semua komunitas atau rumah tangga paham PLTS.
Menyimak perencanaan transisi energi yang dirancang Kementerian ESDM akan membantu semua pihak semakin memahami agenda ini. Pada periode tahun 2021 – 2025 misalnya, pemerintah akan terus menerbitkan dan mengimplementasi regulasi yang terkait dengan undang-undang tentang EBT. Dalam periode ini, pemerintah bahkan menghentikan pembangkit berbasis batubara, serta dilaksanakannya konversi diesel ke gas dan EBT.
Perubahan dan pembaruan akan terus berlangsung secara bertahap hingga tercapainya target NZE tahun 2060. Kerja dan proses yang berkelanjutan ini harus berkepastian. Karenanya, agenda transisi energi ditetapkan dalam PPHN, agar menjadi kewajiban bagi setiap pemerintahan untuk melaksanakan dan mewujudkannya.