Nusantaratv.com - Ketua MPR RI Bambang Soesatyo menyampaikan hasil penelitian disertasinya untuk kandidat Doktor Ilmu Hukum Universitas Padjajaran kepada Promotor Prof. Ahmad M Ramli dan Co-Promotor Dr. Ary Zulfikar. Disertasi itu berjudul 'Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai Payung Hukum Pelaksanaan Pembangunan Berkesinambungan dalam Rangka Menghadapi Indonesia Emas'.
Bamsoet menjadikan institusi seperti BRIN, Lemhanas, Bappenas dan riset di lima Kedutaan Besar negara sahabat seperti Republik Rakyat China (RRC), Rusia, Singapura, Irlandia dan Jepang sebagai objek penelitian. Berdasarkan hasil penelitiannya, Bamsoet mendapati tidak ada negara yang sukses dalam menjalankan roda pembangunannya.
Baik dari segi fisik (infrastruktur), sumber daya manusia, sumber daya alam, ekonomi dan lain-lain tanpa perencanaan yang baik, konsisten dan berkesinambungan dari periode kepemimpinan yang satu ke periode kepemimpinan berikutnya. Dalam disertasinya, Bamsoet mengemukakan berbagai alternatif bentuk dan dasar hukum PPHN beserta plus dan minusnya.
"Setelah mengkaji berbagai alternatif payung hukum untuk PPHN, dalam penelitian disertasi saya ini menemukan konsep legislasi bentuk dan dasar hukum PPHN yang paling pragmatis dan progresif tanpa amandemen, yaitu dalam bentuk UU berbasis konsensus atau konvensi ketatanegaraan dengan pengembangan penerapan teori hukum transformatif dari Prof. Ahmad M Ramli dan Teori Hukum Pembangunan Prof Mochtar Kusumaatmadja, yang jika dikaji dari perspektif sejarahnya dan elaborasinya bukanlah dimaksudkan penggagasnya sebagai sebuah 'teori' melainkan 'konsep' pembinaan hukum yang dimodifikasi dan diadaptasi dari teori Roscoe Pound 'Law as a tool of social engineering'," ujar Bamsoet dalam keterangannya, Sabtu (17/9/2022).
"Sehingga PPHN haruslah merupakan direction sekaligus pedoman pembangunan nasional yang sesuai dengan perkembangan zaman dalam menghadapi tantangan Revolusi Industri 4.0, Society 5.0, SDGs dan MDGs, menyongsong Indonesia Emas 2045," sambungnya.
Selain itu, Bamsoet juga menyimpulkan MPR RI dapat mengeluarkan Ketetapan (Tap) MPR yang bersifat beschikking (penetapan) dan bukan bersifat regeling (mengatur). Misalnya, Tap MPR tentang pemberhentian Presiden dan/atau Wakil Presiden (pasal 39 Ayat 1) atau dalam hal MPR memutuskan tidak memberhentikan Presiden dan/atau Wakil Presiden (Pasal 39 Ayat 2).
Contoh lain, MPR RI pasca reformasi juga pernah mengeluarkan Ketetapan MPR, yakni Ketetapan MPR RI Nomor 1/2003 tentang Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPRS dan MPR RI Tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002.
"Jadi tidak betul jika ada anggapan MPR tidak bisa lagi mengeluarkan TAP MPR. Konsensus melalui Konvensi Ketatanegaraan dapat saja dituangkan ke dalam Ketetapan MPR dalam bentuk beschikking (tanpa amandemen konstitusi) yang isinya mengamanatkan dibuatnya UU tentang PPHN yang bersifat lex specialis (bersifat khusus)," ujarnya.
"Sehingga untuk merubah atau membatalkannya juga harus melalui Konvensi Ketatanegaraan kembali yang melibatkan seluruh lembaga tinggi negara yang diatur dalam UUD NRI 1945. Mengapa? Karena jika hanya diatur dengan UU biasa, rawan 'ditorpedo' Perppu maupun di judicial review ke Mahkamah Konstitusi," paparnya.
Bamsoet menjelaskan payung hukum yang ideal untuk PPHN adalah TAP MPR yang bersifat regeling melalui amandemen konstitusi. Namun karena situasi politik tidak memungkinan melakukan amandemen konstitusi, maka harus dicarikan terobosan baru dengan menggunakan TAP MPR (beschikking).
Dengan demikian, konsensus 'Konvensi Ketatanegaraan' yang melibatkan seluruh lembaga tinggi negara atau institusi-institusi negara yang secara langsung diatur atau memiliki kewenangan yang diberikan oleh UUD 1945 seperti MPR RI, DPR RI, DPD RI, Lembaga Kepresidenan, BPK, MA, MK dan KY mendapatkan payung yang pas dan kuat.
"Pilihan mana yang akan dipilih, kita serahkan sepenuhnya kepada keputusan Sidang Paripurna MPR sebagai tindak lanjut dari keputusan Rapat Gabungan MPR RI yang telah menerima hasil Badan Pengkajian MPR beberapa waktu lalu. Termasuk pengambilan keputusan terkait pembentukan Panitia Ad Hoc yang akan diambil keputusan dalam sidang paripurna MPR Oktober mendatang," tambah Bamsoet.
Lebih lanjut, Bamsoet menuturkan UU tentang PPHN dibuat oleh Presiden dan DPR RI sebagai bagian dari melaksanakan amanat konsensus tentang PPHN yang dituangkan dalam Ketetapan MPR RI. Perubahan atas UU PPHN juga harus didahului konsensus terlebih dulu. Karena lebih ke arah implementasi, Bamsoet menekankan model legislasi seperti ini tidak memerlukan amandemen konstitusi.
PPHN Sebagai Haluan Pembangunan Negara
Bamsoet memaparkan pada dasarnya setiap negara di dunia memiliki rencana pembangunan jangka panjang. Ada yang 8 tahun, 10 tahun, 15 tahun, bahkan 100 tahun.
Misalnya Jepang dan Irlandia yang PPHN-nya bersifat fleksibel dan dinamis. Sementara, RRC memiliki PPHN dengan perencanaan jangka panjang hingga 100 tahun dan sifat yang tegas dengan sanksi apabila pemerintahannya tidak menjalankan PPHN yang telah ditetapkan.
"Sejak awal kemerdekaan, para pendiri bangsa secara sadar telah menyiapkan haluan negara sebagai perencanaan jangka panjang. Bung Hatta yang hadir dalam Sidang Komite Nasional Pusat (KNP), mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden Nomor X (nomor eks, karena belum diberi nomor) 16 Oktober 1945. Di dalamnya menegaskan bahwa KNP, sebelum terbentuknya MPR dan DPR, diserahi kekuasaan legislatif dan ikut menetapkan haluan negara yang kemudian dikenal dengan Pola Pembangunan Nasional Semesta Berencana," ucap Bamsoet.
"Walaupun belum berjalan dengan baik karena situasi perang mempertahankan kemerdekaan, namun keberadaan haluan negara tersebut telah menjadi awalan yang baik bagi perjalanan pembangunan di Indonesia," lanjutnya.
Ia menambahkan di masa pemerintahan Presiden Soeharto, Indonesia memiliki Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dengan jangka waktu 25 tahun yang kemudian diturunkan dalam Rencana Pembangunan Lima Tahun (Repelita). Hasil pembangunan Orde Baru selama 32 tahun secara konsisten dan berkesinambungan juga telah dirasakan bersama.
"Namun sayangnya, sejak era reformasi, pola pembangunan justru berubah karena Indonesia tidak lagi memiliki haluan negara. Pola pembangunan dilakukan berdasarkan visi-misi presiden, visi-misi gubernur, dan visi-misi bupati/walikota terpilih. Dampak negatifnya, menjadikan tidak adanya kesinambungan pembangunan antara satu periode pemerintahan ke pemerintahan penggantinya, serta tidak ada keselarasan antara pembangunan pusat dengan daerah, maupun antara daerah yang satu dengan daerah lainnya," terang Bamsoet.
Bamsoet menilai keberadaan PPHN sangat penting, terlebih mengingat Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Indonesia akan berakhir pada tahun 2025. Sehingga, Indonesia membutuhkan haluan negara untuk mengantar menuju Indonesia Emas 2045.
Karenanya, PPHN dapat menjadi payung hukum yang transformatif dalam menjamin keberlangsungan pembangunan, khususnya dalam menghadapi Revolusi Industri 4.0, Society 5.0, serta berbagai tantangan global lainnya.
"Keberadaan PPHN sebagai visi dan misi negara akan menjadi acuan bagi calon presiden, calon gubernur, hingga calon bupati/walikota dalam menyusun visi dan misinya saat maju dalam Pemilu 2024 dan Pilkada Serentak 2024," ujarnya.
"Sehingga menjamin adanya kesinambungan pembangunan yang dilakukan Presiden Jokowi terhadap penggantinya, serta keselarasan antara pembangunan pusat dan daerah, maupun antara daerah yang satu dengan daerah lainnya. Dengan demikian tidak ada proyek mangkrak, tidak ada uang rakyat yang terbuang sia-sia," pungkas Bamsoet.