Nusantaratv.com - Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) RI Bambang Soesatyo (Bamsoet) menuturkan saat ini bangsa Indonesia sedang menginjakan kaki pada fase akhir Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) Tahun 2005-2025. Karenanya, di tahun 2021-2022 merupakan waktu yang ideal untuk meletakan dasar legalitas yang tepat dalam menyusun Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) sebagai haluan negara dalam program pembangunan jangka panjang.
Urgensi menghadirkan PPHN dicetuskan oleh MPR RI periode 2009-2014. Sebagaimana tertuang dalam Keputusan MPR Nomor 4/MPR/2014 yang mengamanatkan dalam rangka mewujudkan kesatuan sistem perencanaan pembangunan nasional yang berkesinambungan dan terintegrasi dengan sistem perencanaan pembangunan daerah, maka perlu dirumuskan kembali sistem perencanaan pembangunan yang tepat. Berorientasi pada demokrasi dan kesejahteraan rakyat.
"Dilanjutkan MPR periode 2014-2019 melalui Keputusan MPR Nomor 8/MPR/2019 merekomendasikan kepada MPR Periode 2019-2024 untuk mengkaji substansi dan bentuk hukum PPHN. Termasuk membangun konsensus politik dalam penetapan bentuk hukumnya," ujar Bamsoet dalam talkshow 'Menuju Amandemen UUD NRI 1945' yang diselenggarakan Tribun Network Kompas Gramedia, secara virtual dari Ruang Kerja Ketua MPR RI, di Jakarta, Rabu (22/9/2021).
Turut menjadi narasumber antara lain Wakil Ketua MPR Syariefuddin Hasan, Pakar Hukum Tata Negara Prof. Dr. Yusril Ihza Mahendra, serta Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia Prof. Dr. Arif Satria.
Ketua DPR RI ke-20 dan mantan Ketua Komisi III Bidang Hukum dan Keamanan DPR RI ini menjelaskan, menindaklanjuti berbagai rekomendasi MPR RI periode 2009-2014 dan 2014-2019, MPR RI periode 2019-2024 melalui Badan Pengkajian MPR sedang menyelesaikan rancangan PPHN beserta naskah akademiknya. Dari kajian Badan Pengkajian MPR RI yang disampaikan kepada Pimpinan MPR RI pada 18 Januari 2021, bentuk hukum yang ideal terhadap PPHN adalah melalui Ketetapan MPR RI. Bukan melalui undang-undang yang bisa dibatalkan oleh Perppu, serta bukan dimasukan secara langsung dalam konstitusi.
"Untuk menghadirkan PPHN melalui Ketetapan MPR, terlebih dahulu harus dilakukan amandemen terbatas terhadap UUD NRI 1945. Amandemen terbatas hanya menambahkan satu ayat di pasal 3 UUD NRI 1945 terkait kewenangan MPR menetapkan PPHN dan pasal 23 tentang persetujuan RUU APBN oleh DPR yang harus merujuk garis-garis kebijakan PPHN. Ini pun perlu dukungan seluruh partai politik, satu saja tidak setuju, amandemen sulit dilakukan," jelas Bamsoet.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar ini menerangkan, jika seluruh partai politik sepakat terhadap pentingnya PPHN serta bentuk hukumnya melalui Ketetapan MPR, maka diharapkan proses amandemen selesai di tahun 2022. Dilanjutkan penyesuaian peraturan perundang-undangan terkait PPHN pada tahun 2023, dan pada tahun 2024 nanti, calon presiden dan calon wakil presiden dapat menetapkan visi dan misi sesuai dengan PPHN.
"Amandemen konstitusi tersebut tidak akan menyasar hal lain diluar PPHN. Misalnya menambah periodisasi jabatan kepresidenan menjadi tiga periode, ataupun memperpanjang beberapa tahun masa jabatan presiden. Mengingat tata cara amandemen konstitusi telah diatur pada Pasal 37 UUD NRI 1945, dan Peraturan MPR RI Nomor 1 Tahun 2019 tentang Tata Tertib MPR RI di pasal 101 sampai dengan pasal 109," terang Bamsoet.
Senada dengan Bamsoet, Ketua Dewan Pertimbangan Forum Rektor Indonesia Prof. Dr. Arif Satria menegaskan, membangun bangsa tidak bisa hanya berdimensi 5 tahunan. Namun, memerlukan perencanaan jangka panjang yang terukur obyektif dan implementatif. Sebagaimana Tiongkok yang mampu memiliki visi jangka panjang, dan kemudian diterjemahkan ke dalam proyek tahunan yang sistematis. Masih menyambung terus, meski kepemimpinan politik berganti secara periodik.
"Tidak mungkin Tiongkok membangun Great Wall sepanjang 21 ribu kilometer hanya dalam kurun waktu 5 tahun. Tidak mungkin juga Great Wall dibangun hanya dalam satu rezim kepemimpinan politik. Ternyata, butuh kurang lebih 1.800 tahun untuk bisa menyelesaikan Great Wall yang bersejarah. Kini Tiongkok Kembali hadir dengan gagasan besar tentang Blue Economy Valley di Qingdao, sebuah proyek raksasa untuk menunjukkan kepada dunia, bahwa Tiongkok adalah sentral ekonomi kelautan masa depan," tegas Arif Satria.
Arif Satria menambahkan, kondisi Singapura dan Indonesia di tahun 1960-an hampir sama. Kini kondisi Singapura berubah jauh lebih maju karena mempunyai visi besar yang diwujudkan melalui langkah-langkah strategis, sistematis dan berkesinambungan. Singapura telah menjadi pusat pelabuhan terbesar kedua di dunia setelah Shanghai. Singapura juga telah menjadi pusat perdagangan dunia.
"Kita tentu ingin Indonesia menjadi bangsa besar. Proses menuju bangsa besar tidak sebentar. Diperlukan usaha dan perjuangan yang besar. Upaya utamanya adalah proses perencanaan jangka panjang yang matang, terukur, dan berkesinambungan," pungkas Arif Satria.