Nusantaratv.com - Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah memenuhi undangan Duta Besar Republik Demokratik Rakyat Korea untuk Republik Indonesia, Mr. An Kwang Il, mengunjungi prasasti Bunga Kimilsungia di Kebun Raya Bogor, Jawa Barat, Selasa (11/4/23). Ia menjadikan prasasti bunga Kimilsungia simbol gerakan melawan kolonialisme dan imperialisme yang masih melilit sebagian bangsa-bangsa di dunia, terutama Palestina.
"Dalam konteks Konferensi Asia Afrika 1955, prasasti Kimilsungia harus kita jadikan obor penerang betapa kejam kolonialisme dan imperialisme yang masih melilit sebagian saudara-saudara kita. Palestina terus berdarah, Yugoslavia terpecah belah, rakyat Korea belum dapat Bersatu, Irak hancur, Suriah, Libya, Afghanistan berantakan, semuanya ada jejak-jejak imperalisme," kata Ahmad Basarah dalam sambutannya sebelum menyaksikan film dokumenter yang diputar pihak pengundang.
Menurut Ketua Fraksi PDI Perjuangan itu, Prasasti Kimilsungia menjadi penanda hubungan erat antara bangsa Indonesia dengan bangsa Korea. Prasasti ini diresmikan pada November 2021 lalu, untuk mengokohkan peristiwa 58 tahun lampau ketika untuk memperingati satu dasawarsa Konferensi Asia Afrika pada April 1965, Presiden Sukarno memberikan anggrek dendrobium kepada Presiden Korea Kim Il Sung. Anggrek ini diberi nama Kimilsungia.
"Di tahun 1965 itu, Kebun Raya Bogor yang kita kunjungi saat ini sangat bersejarah sebab kelak menjadi jembatan abadi persahabatan kedua bangsa. Kini, dari kebun luas yang menjadi simbol kebebasan umat manusia ini harus kita jadikan elan kemerdekaan bangsa-bangsa tertindas, terutama Palestina," tegas Ahmad Basarah.
Ketua DPP PDI Perjuangan ini pun bercerita bahwa dua tahun lalu, ia hadir juga saat Prasasti Kimilsungia diresmikan dan dihadiri Ketua Umum PDI Perjuangan yang juga Presiden kelima RI, Megawati Soekarnoputri. Ahmad Basarah menyebut putri Bung Karno itu juga merupakan pejuang yang tidak pernah kenal lelah menyuarakan persatuan bagi bangsa Korea yang terbelah akibat konflik perang dingin.
"Kolonialisme dan imperialisme era lama mungkin telah berakhir, namun dalam wujud barunya, dalam konteks kekinian, imperialisme itu sesungguhnya belum belum selesai bahkan lebih sistematis. Kita menangis melihat bagaimana Suriah hancur berkeping-keping, Presiden Irak Saddam Husein diperhinakan, dan darah bangsa Palestina mengalir setiap hari," tandas Ahmad Basarah.
Dalam sambutannya, Doktor ilmu hukum tata negara lulusan Universitas Diponegoro Semarang itu memberi apresiasi yang tinggi kepada Dubes Republik Demokratik Rakyat Korea yang telah berusaha serius mempersembahkan pemutaran film dokumenter dan pameran foto kedua negara dalam perayaan itu. Hampir semua foto yang dipajang menampilkan jejak kotor imperialisme dan eksploitasi manusia atas manusia lainnya.
"Jarak antara Konferensi Asia Afrika dengan era kita sekarang 68 tahun. Tapi, elan juangnya tetap bergema di antara bangsa-bangsa Asia Afrika yang pernah terjajah. Api semangat konferensi itu tak boleh padam sebagai pemersatu bangsa-bangsa dari dunia ketiga yang ingin terus mewujudkan cita-cita negara merdeka dan berdaulat," tegas Ahmad Basarah.
Sebagai penutup, ia mengingatkan bahwa Bung Karno pernah menyampaikan Revolusi Indonesia yang menjadi akar sosialisme Indonesia adalah perlawanan reaktif kaum tertindas, sebuah kesadaran sosial yang tercipta akibat keadaan sosial di Indonesia sendiri. Namun, revolusi Indonesia tidaklah berdiri di ruang hampa melainkan terikat oleh penderitaan bangsa-bangsa lain yang hingga kini tertindas.
"Dari kebun raya yang luas ini dengan spirit Prasasti Kimilsungia saya menyuarakan pembelaan kepada bangsa-bangsa yang masih terjajah, antara lain Palestina. Negara-negara OKI, Parlemen Dunia, dan semua pihak harus bergerak menciptakan ‘Justice Forum for Palestine’, yang dari situ api obornya kita harapkan membakar semangat negara-negara lain yang juga masih dijajah untuk merdeka," tutup Ahmad Basarah.