Nusantaratv.com - Wakil Ketua MPR-RI sekaligus Anggota DPR-RI Komisi VIII yang antara lain membidangi urusan agama, Hidayat Nur Wahid, mengingatkan Menteri Agama RI untuk tidak terburu-buru mengubah aturan soal pendirian rumah ibadah.
HNW, sapaan akrabnya, meminta Menag untuk terlebih dahulu menyelenggarakan dialog intensif lintas pemuka agama dan pimpinan Ormas Keagamaan, sebelum mengambil keputusan soal perubahan aturan.
Hal demikian diperlukan, agar apapun aturan yang dibuat benar-benar bisa jadi solusi berkeadilan bagi seluruh umat beragama di seluruh Indonesia.
Apalagi sejumlah pihak sudah mengkritisi bahkan MUI sudah menyatakan penolakan atas usulan Menag yang akan mengubah aturan pendirian rumah ibadah tersebut.
"Urusan beragama apalagi terkait pendirian rumah ibadah memang kompleks, tidak hanya soal mayoritas dan minoritas, yang berbeda-beda di banyak kasusnya. Seperti di Bali, NTT, Sulut dan Papua yang mayoritasnya non muslim. Di situ ada unsur tokoh agama, forum umat beragama, masyarakat, ormas keagamaan dllnya yang semuanya punya peran untuk harmoni kehidupan beragama melalui pendirian rumah ibadah. Maka agar suatu kebijakan benar-benar jadi solusi yang adil dan bisa hadirkan harmoni di antara umat beragama, Menag mestinya mempertimbangkan fakta sosial keagamaan itu, juga mencermati dan merujuk pada data resmi yang dikeluarkan oleh Kemenag sendiri yang menampilkan bukti-bukti dengan angka soal tidak adanya diskriminasi dalam pendirian rumah ibadah. Hal yang sering diopinikan dan dijadikan alasan untuk perubahan aturan pendirian rumah ibadah," ujar HNW dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (10/6/2023).
Politisi Fraksi PKS ini menjelaskan, jika latar belakang keinginan Menteri Agama untuk mengubah aturan pendirian rumah ibadah adalah aspirasi dari unsur Gereja melalui Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), maka data Kemenag menunjukkan dibanding jumlah Masjid, maka jumlah Gereja meningkat paling tinggi selama 3 tahun terakhir.
Hal itu disebutkan dalam portal "Satu Data Kementerian Agama", pada tahun 2021, jumlah Gereja Kristen di Indonesia 72.233 atau meningkat 23,46% dari tahun 2019 yang berjumlah 55.287.
Jumlah Gereja Protestan pada tahun 2021 berjumlah 13.749 atau meningkat 14,66% dibanding tahun 2019 yang berjumlah 11.734. Sementara jumlah Masjid pada tahun 2021 sebanyak 285.631 dengan peningkatan hanya 1,97%, dibanding tahun 2019 yang berjumlah 280.006.
Secara proporsionalitas dengan jumlah pemeluk agama, umat Islam di tahun 2021 mewakili 86.93% populasi, namun jumlah masjid yang didirikan tidak setara, malah jauh dibawah prosentase itu, hanya 74% dari total rumah ibadah di Indonesia.
Sementara umat Kristen di Indonesia 7,47% dan Protestan 3,08% dari jumlah Penduduk Indonesia, namun jumlah rumah ibadahnya jauh lebih besar, yakni 18,72% (Kristen Katolik) dan 3,56% (Kristen Protestan) dari jumlah total rumah ibadah.
"Ini menunjukkan toleransi di lapangan sudah berjalan, dan secara aturan tidak mendiskriminasi terhadap agama apa pun, termasuk dalam pendirian rumah ibadah. Bahkan agama Konghucu yang mewakili 0,05% umat beragama di Indonesia, juga memiliki jumlah Klenteng dengan prosentase lebih banyak yaitu 0,15% dari total rumah ibadah. Sebelum mengubah aturan pendirian rumah ibadah, penting bagi Menag untuk melihat fakta-fakta resmi yang dikeluarkan sendiri oleh Kemenag ini secara mendalam, agar dapat mendudukkan masalah lebih proporsional berkeadilan, dan tidak hanya berdasarkan kasus per kasus saja. Agar aturan itu benar-benar bisa jadi solusi untuk memperkuat toleransi dan harmoni di antara umat beragama, dan tidak malah menghadirkan keresahan baru," sambungnya.
Oleh karena itu dirinya menganggap aturan pendirian rumah ibadah yakni Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Nomor 8 dan 9 tahun 2006 masih relevan untuk digunakan.
Lantaran pada aturan tersebut tidak ada unsur diskriminatif kepada agama mana pun, serta jelas mengedepankan musyawarah dan kesepakatan di tingkat masyarakat terkait pendirian rumah ibadah di daerah mereka.
Kalaupun timbul masalah, dalam kasus-kasus tertentu, mestinya Kemenag maksimalkan perannya agar lFKUB dan Ormas-ormas Keagamaa agar dapat lebih efektif bermusyawarah mencari solusi berkeadilan.
"Yang paling tahu kebutuhan pendirian rumah ibadah di tingkat lokal dan paling mengharapkan adanya harmoni dan ukhuwah serta toleransi, adalah masyarakat di sekitar lokasi akan didirikannya rumah ibadah tersebut. PBM No. 8 dan 9 tahun 2006 jelas mengaitkan pendirian rumah ibadah dengan kebutuhan dan dukungan masyarakat setempat, agar rumah ibadah yang dibangun dapat menghadirkan kerukunan dan ketenteraman di antara warga," lanjutnya.
Wakil Ketua Majelis Syura PKS ini menegaskan, UUD NRI 1945 mengakui kebebasan beragama dan beribadat menurut agamanya menjadi bagian dari HAM, sebagaimana tertuang dalam Pasal 28E dan Pasal 29 ayat(2). Namun kebebasan itu dibatasi dengan aturan perundangan serta turunannya yang berlaku, sebagaimana tercantum di Pasal 28J ayat(2).
Pembatasan dimaksudkan semata-mata untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu masyarakat yang demokratis.
"PBM Nomor 8 dan 9 Tahun 2006 yang mengedepankan dialog melalui Forum Kerukunan Umat Beragama sebelum mendirikan rumah ibadah merupakan implementasi dari UUD tersebut. Jangan sampai Menag hendak mengubahnya dengan merumuskan satu kebijakan baru dalam rangka menghilangkan diskriminasi yang secara data tidak terbukti, namun di saat yang sama justru bisa mengakibatkan terjadinya masalah, karena tidak dipertimbangkannya asas keadilan dan harmoni di antara warga terkait kemaslahatan dan persetujuan mereka akan pendirian rumah ibadah. Penting mempertimbangkan agar aturan yang akan dibuat dapat mengatasi masalah tanpa menimbulkan masalah baru," pungkasnya.