Nusantaratv.com - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas pemerintah mendapat apresiasi dari berbagai kalangan karena dinilai memperkuat ketahanan gizi nasional serta menjangkau kelompok masyarakat yang paling membutuhkan.
Guru Besar Ilmu Gizi IPB (Institut Pertanian Bogor), Prof. Hardinsyah, menyampaikan bahwa program ini merupakan langkah penting negara dalam memenuhi hak dasar warga untuk mendapatkan pangan bergizi.
“Pangan adalah bagian dari hak asasi manusia. Kalau ada warga yang tidak mampu memenuhi pangannya, negara wajib hadir,” ujarnya dalam wawancara bersama NTV Prime, Nusantara TV, Rabu (3/12/2025).
Meski demikian, ia menekankan perlunya peningkatan pengawasan agar standar gizi tetap terjaga di seluruh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG). Prof. Hardinsyah mengungkapkan masih ditemukan porsi yang tidak sesuai ketentuan, terutama pada buah.
Baca Juga: Badan Gizi Nasional Gandeng Danantara Perkuat Pembiayaan Pembangunan SPPG
“Saya pernah lihat semangka diberi setipis ini. Itu tidak memenuhi kebutuhan buah seharusnya. Potongannya harus lebih tebal,” ungkapnya.

Guru Besar Ilmu Gizi IPB University, Prof. Hardinsyah di NTV Prime. (Nusantara TV)
Ia menilai hal-hal seperti ini menjadi catatan penting agar penyediaan makanan mendekati zero defect. Menurutnya, pemenuhan gizi dalam program MBG dirancang setara sepertiga kebutuhan harian, dengan komposisi makanan pokok, lauk pauk, sayur, buah, dan minuman. Susu dinilai bermanfaat, namun bukan prioritas utama karena biaya penyediaannya yang tidak selalu memungkinkan setiap hari.
“Susu bagus, tapi tidak wajib setiap hari. Prioritas tetap pada makanan pokok, lauk, sayur, dan buah,” tegasnya.
Pemerintah sendiri mencatat perkembangan signifikan dari program MBG. Hingga saat ini, MBG telah menjangkau lebih dari 43,8 juta penerima manfaat, di antaranya anak sekolah, ibu hamil dan menyusui, serta balita.
Total 16.336 dapur pelayanan gizi telah beroperasi di seluruh Indonesia, didukung 36.203 supplier, dan berhasil menyerap lebih dari 693 ribu tenaga kerja. Untuk tahun 2026, pemerintah menetapkan alokasi Rp335 triliun melalui APBN sebagai bagian dari program prioritas nasional, menegaskan komitmen penuh terhadap keberlanjutan MBG.
Prof. Hardinsyah juga menyoroti tantangan distribusi bagi ibu hamil dan balita karena harus diantar langsung ke rumah sehingga rawan tidak tepat sasaran. Ia menyarankan pola distribusi campuran, yaitu makanan matang untuk konsumsi langsung serta bahan mentah untuk dimasak sendiri oleh keluarga penerima.
“Ada nilai pemberdayaannya. Tidak hanya menerima, tapi ikut menyiapkan makanan,” tuturnya.
Ia menambahkan bahwa pemenuhan protein dapat dioptimalkan melalui sumber yang lebih mudah diakses seperti telur, ikan air tawar, atau ikan laut di daerah pesisir.
Di balik itu, ia menegaskan bahwa edukasi gizi wajib menyertai pemberian makanan MBG agar anak-anak memahami manfaat makanan yang mereka konsumsi.
“Kalau makanan hanya diberikan, anak hanya tahu enaknya tapi tidak tahu manfaatnya. Peran guru sangat penting untuk mengedukasi mereka,” kata Prof. Hardinsyah.
Mengingat keterbatasan jumlah ahli gizi, ia mendorong pelibatan guru seperti model kader posyandu untuk memperluas jangkauan literasi gizi.
Prof. Hardinsyah optimistis bahwa jika pengawasan, distribusi, edukasi, dan pemenuhan standar gizi berjalan seiring, MBG dapat menghasilkan dampak besar bagi masa depan bangsa.
“Jika semua berjalan baik, MBG akan melahirkan generasi Indonesia yang sehat, cerdas, dan kompetitif,” pungkasnya.




Sahabat
Ntvnews
Teknospace
HealthPedia
Jurnalmu
Kamutau
Okedeh