Ancaman Kematian Hantui Para Ahli yang Bicara Tentang Covid-19

Nusantaratv.com - 15 Oktober 2021

Warga diminta mengenakan masker selama pandemi Covid-19. (Britannica)
Warga diminta mengenakan masker selama pandemi Covid-19. (Britannica)

Penulis: Adiantoro

Nusantaratv.com - Para ahli yang berbicara mengenai Covid-19 di media sering menghadapi pelecehan, termasuk ancaman kekerasan bahkan kematian.

Sebuah laporan terbaru mengungkapkan lebih dari dua pertiga ahli yang disurvei telah mengalami serangan pribadi setelah berbicara tentang Covid-19 di media. Hal itu diketahui lewat sebuah survei di seluruh dunia terhadap lebih dari 300 ilmuwan.

Lebih lanjut, seperempat dari para ahli mengatakan pelecehan semacam itu adalah harga yang sering mereka bayar untuk mencoba mengeduaksi publik tentang Covid-19, melaporkan jika serangan semacam itu 'selalu' atau 'biasanya' muncul usai mereka tampil di media.

Dokter Amesh Adalja adalah pakar penyakit menular dan sarjana senior di Pusat Keamanan Kesehatan Johns Hopkins di Baltimore, Amerika Serikat (AS). Dia sering berbicara kepada media, dan mengatakan survei tersebut menangkap fakta yang tidak menguntungkan jika serangan pribadi adalah kenyataan yang harus diterima sebagai ahli dalam memberikan pencerahan kepada masyarakat selama pandemi Covid-19.

"Setiap hari, saya mendapatkan pesan ancaman dan penghinaan di semua bentuk media sosial dan juga melalui email," kata Adalja, dikutip dari UPI, Jumat (15/10/2021).

"Karena pandemi ini sebagian besar terlihat berdasarkan suku apa pun yang menjadi milik seseorang, jika Anda marah pada suku tersebut biasanya Anda akan diserang. Ini benar-benar berbicara tentang penghinaan terhadap pembelajaran ilmiah dan kurangnya rasa hormat terhadap akal di masyarakat saat ini," lanjutnya.

Didorong oleh contoh-contoh pelecehan yang terkenal terhadap dokter-dokter top di AS dan Eropa, jurnal Nature mengirimkan survei kepada ratusan ilmuwan yang secara teratur muncul di media untuk menanyakan pengalaman mereka. Jurnal tersebut menerima 321 tanggapan.

Lebih dari 9 dari 10 pakar mengatakan mereka memiliki pengalaman yang baik dengan jurnalis dalam membahas Covid-19. Tapi, begitu kata-kata mereka dicetak atau wawancara mereka ditayangkan, masalah sering muncul, di antaranya 15 persen mengatakan mereka menerima ancaman pembunuhan, 22 persen menerima ancaman kekerasan fisik atau seksual, dan 59 persen menyerang kredibilitas mereka.

Sebagai akibat dari semua ini, hampir sepertiga mengatakan reputasi mereka telah dirusak oleh reaksi terhadap penampilan mereka di media, dan 42 persen melaporkan tekanan emosional atau psikologis dari pelecehan tersebut.

Komentar jahat dan ancaman buruk yang ditujukan kepada dokter dan ilmuwan bukanlah hal baru dalam pandemi Covid-19, kata para ahli. "Selama masalah Ebola pada 2014, saya disebut 'Obama' dan 'Muslim', meskipun saya tidak memilih Obama dan saya seorang ateis," cetus Adalja. 

"Saya juga ingat selama Ebola diberitahu bahwa saya harus digantung di tiang lampu. Saya telah disumpah berkali-kali, disebut 'kulit kotor', dan disuruh kembali ke tempat asal saya. Saya lahir di Filadelfia," beber Adalja.

Baca Juga: Studi: Lamanya Siklus Menstruasi Jelang Menopause Bisa Prediksi Kesehatan Jantung

Michael Head, seorang peneliti senior dalam kesehatan global di University of Southampton di Inggris, setuju dalam komentar yang diberikan kepada Nature. Laporan survei itu diterbitkan di jurnal pada Kamis (14/10/2021).

"Bagi kita yang telah membongkar misinformasi anti-vaksin dari masa pra-pandemi, kehadiran upaya intimidasi ini sangat melelahkan, tetapi tidak mengejutkan," kata Head.

Namun, Head menilai intensitas pelecehan semacam itu telah meningkat secara signifikan di selama pandemi, termasuk menjadi lebih terorganisir dan menakutkan daripada sekadar komentar tanpa pikiran di media sosial.

Survei menemukan ilmuwan pria dan wanita mengalami tingkat pelecehan yang sama. Tampaknya keahlian mereka menjadikan mereka target, bukan gender mereka. "Pelecehan online terjadi paling intensif setelah keterlibatan media, dan terutama setelah mereka yang membahas menjaga jarak sosial, mengenakan masker, atau vaksinasi," terang Susan Michie, Direktur Pusat Perubahan Perilaku UCL di University College London.

Lebih dari 2 dari 5 pakar yang menerima pelecehan setelah tampil di media mengabaikannya, dan tidak perlu repot untuk memberi tahu atasan mereka mengenai hal itu. Dari mereka yang melaporkan pelecehan tersebut, hampir 80 persen mengatakan jika mereka menerima dukungan dari atasan mereka.

Misalnya, seorang ilmuwan yang menerima ancaman pembunuhan mengatakan universitasnya memberinya tempat parkir lebih dekat ke kantornya, dan departemen TI memblokir beberapa e-mail yang secara teratur mengirim komentar kasar kepadanya.

"Saya menilai pengalaman negatif ini mencerminkan rasa yang tidak enak secara luas dalam wacana publik di masyarakat, didorong oleh media sosial dan tumbuhnya tribalisme sosial dan politik," jelas Simon Clarke, seorang profesor mikrobiologi seluler di University of Reading di Inggris.

"Ini adalah masalah bagi seluruh masyarakat, tetapi survei ini menyoroti jika para ilmuwan jauh dari kebal terhadap dampaknya," lanjut Clarke.

"Seperti di bidang kehidupan publik lainnya, ada risiko nyata bagi masyarakat jika kekhawatiran tentang ancaman kekerasan menghalangi orang untuk terlibat sepenuhnya dalam debat dan diskusi tentang sains.

"Ketika diskusi tentang fakta ilmiah hanya diadakan di balik pintu tertutup, karena takut akan dampak pribadi bagi para ilmuwan, maka kami mengambil langkah mundur yang berbahaya. Ini akan menyebabkan ketidakpercayaan yang lebih besar pada para ilmuwan dan terus terang, mengarah pada sains yang lebih buruk," tukas Clarke.

Dapatkan update berita pilihan terkini di nusantaratv.com. Download aplikasi nusantaratv.com untuk akses berita lebih mudah dan cepat melalui:



0

(['model' => $post])